MENELUSURI SEJARAH TREN PENANGKAPAN KEPITING BAKAU DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN
Oleh: Faridz R. Fachri (Capture Fisheries Officer, WWF-Indonesia)
“Dulu, tangkapan kepiting saya bisa mencapai 25 ekor dalam sekali melaut. Tapi sekarang, 6 ekor saja sudah paling banyak. Ukuran juga mengecil, rata-rata 500-700 gram, yang harusnya bisa di atas 1,5 kg.”
Kesaksian ini disampaikan Bapak William, yang sudah lebih dari 15 tahun menjadi penangkap kepiting bakau di Desa Pinasungkulan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Desa ini berada dalam Taman Nasional (TN) Bunaken, kawasan perlindungan alam yang didominasi 97% perairan laut. Sebesar 3% sisanya adalah daratan yang mencakup lima pulau utama; Pulau Manado Tua, Bunaken, Mantehage, Naen, dan Siladen.
Bisa dibayangkan, keunikan alam bawah laut taman nasional yang tepat berada di jantung Coral Triangle segaris dengan Ring of Fire ini. Namun, sejenak kita coba kesampingkan sementara bayangan akan menyelam di sana. Ada ekosistem tropis lainnya yang menonjol di TN Bunaken, yaitu ekosistem mangrove. Tidak main-main luasnya, mencapai 960 hektar.
Di Wawontulap, Minahasa Selatan, misalnya, hutan mangrove didominasi Rizhopora sp dengan kerapatan yang baik, dan tinggi pohon mencapai 30 meter. Ekosistem estuari yang masif ini tentunya tak lepas dari pemanfaatan penangkapan kepiting bakau yang tergolong sebagai prestige-seafood.
Kisah yang dituturkan Bapak William menjadi temuan penting ketika WWF-Indonesia dan Forum Masyarakat Peduli Taman Nasional Bunaken (FMPTNB) menelusuri sejarah rekam jejak penangkapan kepiting bakau di TN Bunaken pada 11-19 Januari 2017 lalu.
Sejak tahun 2013, WWF – Indonesia dan FMPTNB telah mengawali program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP). Penelusuran ini dilakukan untuk memenuhi informasi pola pemanfaatan kepiting bakau, dengan menggunakan metode historical catch.
Kami menggali lokasi sentra penangkapan di sisi selatan TN Bunaken, Pulau Mantehage, dan Pulau Bunaken. Penelusuran ini kami mulai dengan menganalisis pemanfaatan kepiting bakau di wilayah selatan TN Bunaken, yakni Kabupaten Minahasa Selatan (Desa Poapreng) dan Minahasa (Desa Pinasungkulan).
Perjalanan dari Manado menuju lokasi target memerlukan waktu 2.5 jam dengan medan yang cukup sulit. Kondisi geografis garis Ring of Fire ditandai dengan banyaknya tebing dan gunung, yang menuntut kami tahan mual selama perjalanan. Namun, kami dihibur dengan indahnya bentang Laut Celebes di sebelah utara.
Kondisi berbeda ditemui ketika melakukan pengamatan di Pulau Mantehage. Kami harus menempuh perjalanan laut dengan boat. Perairan Laut Celebes yang terbuka kadang memicu gelombang tinggi, terlebih pada saat angin kencang tanda peralihan ke musim barat. Melewati berbagai medan, akhirnya tim berhasil menghimpun data mengenai penangkapan kepiting bakau di TN Bunaken.
Aktivitas penangkapan kepiting bakau mulai dilakukan pada tahun 1990-an, yang didominasi oleh species Scylla serrata dan Scylla olivacea. Awalnya, selain dengan teknik handpicking dengan alat bantu kate-kate (kait), tak sedikit nelayan yang menyelam (mundung) untuk menangkap kepiting bakau.
Betapa hebatnya,menyelam ketika air pasang untuk menagkap kepiting di wilayah estuari dengan kondisi air yang kecoklatan. Namun, mulai tahun 2011, beberapa nelayan beralih menggunakan perangkap bubu, terutama di wilayah Desa Popareng dan Desa Bango di Pulau Mantehage.
Tidak dipungkiri, secara kasar, terdapat indikasi turunnya populasi kepiting di TN Bunaken, baik skala produktivitas dan ukurannya. Padahal, jika dilihat dari tren jumlah armada dan nelayan yang beroperasi, perubahannya tidak terlalu signifikan. Namun, indikasi semakin jauhnya lokasi tangkap hingga wilayah Toli-Toli cukup memperlihatkan terjadinya penurunan stok kepiting bakau di alam.
Hasil yang lebih konklusif akan terlihat dari analisis Harvest Control Rules (HCR) berdasarkan pada historical catch tersebut. Data ini akan digunakan sebagai landasan dalam menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) kepiting bakau di TN Bunaken.
Hasil ini akan disosialisasikan kepada seluruh stakeholder melalui Focus Group Discussion (FGD) guna mendapatkan masukan dan rencana tindak lanjut ke depannya. Dengan adanya indikasi penurunan stok kepiting bakau, seharusnya harus ada upaya pengelolaan menuju sumber daya yang lestari dan berkelanjutan di taman nasional kebanggaan Minahasa ini. Alam lestari, perut tak lagi bernyanyi!