MENGKAJI PEMANFAATAN PENYU DAN BIODIVERSITAS LAUT DI KEI KECIL
Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam, khususnya penyu, oleh masyarakat lokal di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara masih menjadi isu yang cukup hangat. Banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami atau menyadari pentingnya konservasi dan implikasi jangka panjang dari aktivitas tersebut.
WWF-Indonesia, bekerja sama dengan Dinas Perikanan Maluku Tenggara, KCD Gugus Pulau VIII, dan Pangkalan PSDKP Tual mengadakan “Survei Tingkat Pemanfaatan & Inventarisasi Biodiversitas di Taman Pulau Kecil (TPK) Kei Kecil" sebagai langkah penting untuk tahap pengumpulan data terkait skala pemanfaatan penyu dan sumber daya alam lainnya di wilayah Taman Pulau Kecil (TPK) Kepulauan Kei Kecil. Survei ini mengidentifikasi pola pemanfaatan, inventarisasi spesies laut, serta menilai kesadaran masyarakat terhadap regulasi yang ada dan dilaksanakan dari tanggal 20-29 September 2024.
Pengambilan data dilakukan pada sembilan ohoi (desa) yang meliputi Ohoi Dertom, Ohoi Dertutu, Ohoi Somlain, Ohoi Ren, Ohoi Warbal, Ohoi Tanimbar Kei, Ohoi Ur Pulau, Ohoi Watngil, Ohoi Wab. Dari kesemua desa tersebut, rata-rata penduduk masih mengakui bahwa pemanfaatan masih tetap ada, tetapi sudah tidak sebanyak 10 tahun lalu.
Yoakiaem Lobya, salah satu nelayan dari Ohoi Dertom, mengungkapkan pemanfaatan penyu di Kepulauan Kei banyak berkaitan dengan adat istiadat yang masih dijalankan hingga sekarang. Ia mengaku, semenjak WWF-Indonesia dan dinas terkait sering melakukan sosialisasi, jumlah pemanfaatan penyu menjadi turun, dan beberapa kalangan sudah mulai sadar arti konservasi penyu bagi lingkungan mereka.
Sementara di Ohoi Tanimbar Kei, Besmin Singerubun, enumerator WWF-Indonesia, juga berpendapat bahwa pemanfaatan penyu banyak digunakan untuk keperluan adat. “Tabob (penyu belimbing) dianggap sebagai perlengkapan adat dan harus dipersembahkan, sehingga agak sulit bagi masyarakat untuk meninggalkan sepenuhnya [pemanfaatan],” ucapnya.
Ia mengharapkan, survei ini bisa mencari jalan tengah untuk mengentaskan permasalahan pemanfaatan penyu di Kepulauan Kei Kecil. Selain karena adat, penyu juga dianggap sebagai sumber protein hewani yang murah dan mudah didapat, sehingga apabila masyarakat menemukan penyu terjerat jaring, mereka menganggapnya sebagai anugerah dan membagikan daging penyu tersebut ke semua rumah yang ada.
Selain melakukan survei ke ohoi, tim WWF-Indonesia juga melakukan survei laut dengan menyelam ke beberapa titik yang ada di sekitar barat daya Pulau Kei Kecil. Sebanyak 13 titik yang telah diplot untuk melihat keanekaragaman jenis ikan dan terumbu karang.
“Meskipun secara rerata kondisi di perairan di TPK Kei Kecil cukup bagus, namun di beberapa zona inti seperti di Ur Pulau perlu perhatian khusus karena daerah terumbu karang mulai tertutupi oleh bekas daun kelapa, ataupun bekas potas,” ungkap Naufal Dafa Athallah, Surveyor Tim Inventaris Karang dan Ikan WWF-Indonesia.
Selama pendataan, tim WWF-Indonesia menjumpai beberapa spesies ikan, diantaranya: napoleon, giant travelly (GT), pari elang, emperor angle fish. Juga, beberapa terumbu karang seperti genus acropora, porites, pocilopora, stylopora, dan lainnya.
Yusuf Steven Buiswarin, staff seksi perikanan KCD Gugus Pulau VIII sangat mengapresiasi survei ini. Menurutnya, pengumpulan data ini sangat membantu untuk pengembangan wilayah konservasi laut menuju arah yang lebih baik. “Sekaligus mengedukasi kembali masyarakat setempat terkait dengan perlindungan terhadap ekosistem, terlebih kepada penyu, yang sudah menjadi identitas daerah Kepulauan Kei,” ungkapnya.
Melalui survei ini, WWF-Indonesia berkomitmen untuk menghasilkan data yang komprehensif dan strategis untuk memperkuat implementasi kebijakan konservasi di Taman Pulau Kecil Kepulauan Kei Kecil, serta bisa merumuskan rekomendasi bagi pemangku kepentingan dalam mengelola kawasan seluas 150.000 hektare ini secara berkelanjutan dan optimal