PENTINGNYA TRANSISI ENERGI DI SEKTOR INDUSTRI
Indonesia adalah salah satu dari 196 negara yang menandatangani Persetujuan Paris atau Paris Agreement. Indonesia kemudian ratifikasi ke dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016, tentang pengesahan persetujuan Paris atas konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim. Persetujuan Paris adalah perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang disepakati pada COP21 di Paris pada Desember 2015, dan mulai berlaku pada 4 November 2016.
Persetujuan Paris disepakati untuk menguatkan respon global terhadap ancaman perubahan iklim, dengan tujuan menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi, dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5°C di atas tingkat pra-industrialisasi. Sebagai bentuk pernyataan komitmen implementasi Persetujuan Paris, Indonesia telah membuat Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional pada tahun 2030. Komitmen ini dapat dicapai melalui keterlibatan berbagai sektor, salah satunya sektor energi.
Pengurangan emisi pada sektor energi menjadi hal yang perlu untuk segera dilakukan. Pada tahun 2017 sektor energi memberikan kontribusi terbesar terhadap emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional, yaitu sebesar 48%, diikuti oleh sektor kehutanan dan kebakaran gambut (26%) dan pertanian (11%).
Konsumsi Energi di Sektor Industri
Sektor Industri adalah sektor yang sangat bergantung pada penggunaan energi, di tahun 2019 sektor industri mengonsumsi lebih dari 30% total konsumsi listrik di Indonesia. Diperkirakan, permintaan listrik hingga tahun 2050 masih akan didominasi antara lain oleh sektor industri.
Sebagai negara dengan cadangan batubara terbesar kelima di dunia, tak bisa dipungkiri sebagian besar energi listrik di Indonesia dihasilkan melalui pengolahan batubara. Cadangan batubara Indonesia hingga saat ini, diperkirakan mencapai 38,84 miliar ton. Dan pemanfaatan batubara untuk menghasilkan listrik di Indonesia, diperkirakan masih akan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk kebutuhan pembangkit listrik dan industri .
Sayangnya, energi fosil seperti batubara tidak akan selamanya tersedia, dengan asumsi rata-rata produksi batubara sebesar 600 ton per tahun, maka umur cadangan batubara Indonesia hanya tinggal 65 tahun. Artinya, batubara Indonesia akan habis di tahun 2086, apabila tidak ada temuan cadangan baru.
Semakin menipisnya cadangan energi fosil di Indonesia juga diungkapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) IV 2020-2024, yang menyatakan bahwa persediaan energi domestik pada tahun 2030 diperkirakan hanya mampu memenuhi 75% permintaan energi nasional, dan akan terus menurun hingga hanya sekitar 28% pada tahun 2045. Dengan harapan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, berkurangnya kemampuan produksi energi domestik, tentu akan menyebabkan ketidakseimbangan, antara persediaan versus kebutuhan energi nasional di masa yang akan datang.
Mengapa Industri Perlu Bertransisi?
Di sisi lain, Indonesia sebetulnya memiliki potensi energi terbarukan yang sangat berlimpah. Seperti tersusun dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 443 Giga Watt (GW), yang bersumber dari panas bumi, air, mini dan mikro hidro, bioenergy, surya, angin dan laut. Potensi tersebut, kini dijadikan acuan oleh pemerintah sebagai dasar target pengembangan energi baru terbarukan (EBT), yaitu paling sedikit sebesar 23% dari total bauran energi primer pada tahun 2025, dan setidaknya mengambil porsi sebanyak 31% dari bauran energi primer pada tahun 2050.
Namun sayangnya, hingga saat ini kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 10,3 GW. Sebagai wujud komitmen lebih lanjut, Pemerintah Indonesia saat ini tengah menyusun Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) Indonesia untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Dalam GSEN, rencana pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia, memiliki target penambahan kapasitas hingga sekitar 38 GW pada tahun 2035.
Berlimpahnya potensi energi terbarukan di Indonesia, perlu dimanfaatkan oleh sektor industri apabila ingin menghindari ketergantungan pada energi fosil. Terlebih lagi emisi yang dihasilkan oleh batu bara di sektor ketenagalistrikan cukup tinggi yakni mencapai 1,24 ton CO2/MW. Leibh lanjut, kerentanan persediaan batubara saat ini, memunculkan prediksi yang rawan bagi masa depan industri. Sektor industri yang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utamanya, perlu mulai mengevaluasi kembali keputusannya. Ketersediaan batubara yang tidak menentu dalam beberapa dekade ke depan, tentunya berpotensi mengancam keberlangsungan aktivitas manufaktur industri.
Bila ingin terus bertahan dalam dinamika energi di masa depan, serta menghindari dampak dari penurunan suplai batubara yang tidak teratur, industri perlu segera bertransisi dengan mengurangi konsumsi dengan upaya efisiensi energi, serta membentuk strategi bisnis baru dengan mulai beralih dari penggunaan energi fosil, ke energi terbarukan sebagai sumber energi utamanya.
Laporan International Energy Agency mengungkapkan, bahwa penggunaan energi terbarukan akan berkontribusi pada 50% pengurangan karbon pada tahun 2050, ditambah 45% dari efisiensi energi dan elektrifikasi. Sebagai salah satu sektor dengan pemanfaatan listrik yang sangat besar, sektor industri perlu segera memulai efisiensi energi, sekaligus beralih pada penggunaan energi terbarukan. Sinergi kedua hal tersebut sangatlah penting, karena dapat menghasilkan bauran energi terbarukan yang lebih tinggi, pengurangan intensitas energi secara lebih cepat, serta biaya yang lebih murah pada sistem energi. Jika pengembangan energi terbarukan atau efisiensi energi, dilakukan sendiri-sendiri, maka akan sangat sulit untuk dapat mencapai hasil yang menguntungkan.
Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh industri saat beralih menggunakan energi terbarukan, antara lain sebagai bentuk green marketing, penghematan biaya energi, dan mendapatkan sentimen positif dari konsumen. Adanya upaya baik dari berbagai perusahaan dalam menggunakan energi terbarukan, perlu terus didukung guna membantu menekan laju pemanasan global serta melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil.
Perkembangan Transisi Energi di Sektor Industri
Kabar baiknya, transisi pada penggunaan energi terbarukan, kini mulai dilakukan oleh industri-industri di Indonesia, terutama oleh perusahaan-perusahaan yang merupakan bagian dari jaringan perusahaan multinasional. Salah satunya telah dilakukan oleh sebuah perusahaan produsen air mineral dalam kemasan yang berada di Klaten, Jawa Tengah. Langkah untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dilakukan dengan memasang lebih dari 8.300 unit panel surya yang diklaim sebagai sistem tenaga surya (PLTS) terbesar yang dipasang di atap sebuah pabrik. Solar rooftop dengan kapasitas 2,91 megawatt peak (mWp) ini dapat menghasilkan output listrik sebesar 4 GWh setiap tahunnya. Output tersebut setidaknya dapat berkontribusi sekitar 15 – 20% dari total kebutuhan listrik pabrik tersebut.
Pemasangan PLTS Atap ini dilakukan agar perusahaan dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang berasal dari alam yaitu sinar matahari, yang tentunya akan berdampak positif dalam mengurangi emisi GRK. Terkait dengan pengurangan emisi, perusahaan tersebut menyatakan mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 314 ton CO2e setiap bulan atau setara dengan menanam sekitar 29,776 pohon.
Tak hanya itu, kini sebenarnya telah terdapat inisiatif-inisiatif beranggotakan perusahaan multinasional terkait dengan transisi pada energi terbarukan, seperti Clean Energy Investment Accelerator (CEIA), Renewable Energy Buyer Alliance (REBA), Renewable Energy 100 (RE100), dan lainnya. Inisiatif-inisiatif ini membuka ruang bagi sektor industri untuk berkolaborasi, dalam mengembangkan dan menerapkan penggunaan energi terbarukan dalam bisnis mereka. Setidaknya ada 3 alasan utama yang dapat memotivasi industri atau perusahaan untuk memulai penggunaan listrik berbasis energi terbarukan, yaitu pengelolaan emisi GRK, Corporate Social Responsibility (CSR), dan pemenuhan ekspektasi pelanggan.
Di samping peran langsung dari sektor industri untuk memanfaatkan energi terbarukan, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) berperan penting di dalam transisi energi. LJK sebagai intermediasi keuangan mempunyai peranan untuk mendorong sektor energi bertransisi. Persetujuan Paris artikel 2 memandatkan agar arus keuangan konsisten dengan pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim. termasuk untuk mendorong peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Contohnya seperti manajer investasi besar anggota Principle of Responsible Investment (PRI) dan perbankan di Uni Eropa dan Singapura yang menerapkan kebijakan dan target untuk beralih dari bahan bakar fosil seperti batu bara..
Sementara itu di Indonesia sendiri, investasi energi transisi masih sangat terbatas. Saat ini tercatat anggota Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) memberikan pembiayaan di sektor energi terbarukan baru mencapai 17,5 triliun rupiah pada tahun 2020. Portofolio sektor energi terbarukan masih terbatas disebabkan oleh beberapa tantangan utama antara lain, kebijakan terkait biaya yang belum kondusif, besarnya biaya transaksi, periode tenor yang mismatch dengan ketersediaan fasilitas pembiayaan serta rerata pemain skala kecil dan menengah yang belum mempunyai banyak pengalaman. Kompleksnya kondisi transisi energi ini, memerlukan suatu solusi multipihak guna mempercepat investasi energi terbarukan dapat direalisasikan. Terutama untuk mencapai target bauran energi terbarukan yang ditetapkan oleh pemerintah dan memitigasi risiko yang ditimbulkan terkait kemungkinan kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat yang dapat terjadi pada tahun 2021-2040.