TANGKAP IKAN DENGAN “DUA JARI”, NELAYAN BULELENG PRAKTIKKAN PERIKANAN KARANG YANG LESTARI
Oleh: Fransiska Sonya P (Capture Fisheries Assistant,WWF-Indonesia)
Sejumlah permen, jelly, kacang, dan coklat – kami bagikan pada nelayan dan meminta mereka melakukan simulasi penangkapan ikan. Permen dianalogikan sebagai ikan di lautan, kacang adalah terumbu karang, jelly adalah penyu, dan coklat adalah hiu. Tangan mereka adalah alat tangkap yang menentukan nasib perikanan tangkap di masa mendatang.
Meraup dengan lima jari –umpama trawl (pukat) akan mengangkut tak hanya ikan, tetapi juga banyak tangkapan sampingan. Menangkap dengan dua jari – umpama panah atau pancing, akan lebih selektif dalam menangkap ikan, sebuah cara yang lebih ramah lingkungan.
“Kami dulu menangkap ikan dengan cara yang salah, tapi sekarang sudah tidak lagi,” tutur Pak Hamid, ketua kelompok nelayan Bina Karya di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali. “Kami ingin bisa menangkap ikan dengan ramah lingkungan, karena kalau terus menerus menggunakan bom atau potassium, nantinya kita tidak bisa menikmati ikan karang lagi, dan terumbu karang jadi rusak,” ungkapnya jujur pada kami, tim WWF-Indonesia, pada pelatihan Better Management Practices (BMP) di Desa Patas, 24 Februari 2017 lalu.
Hari itu, bersama Lembaga Peduli Alam dan Lingkungan (PILANG), kami memulai pendampingan praktik perbaikan perikanan tangkap (Fisheries Improvement Program/FIP) untuk para nelayan yang tergabung dalam Kelompok Bina Karya. Saya dapat melihat antusiasme mereka – begitupun dengan Kepala Desa Patas dan Penyuluh Perikanan Kabupaten Buleleng yang ikut hadir di sana.
Memang, menangkap ikan karang telah menjadi bagian dari keseharian nelayan Desa Patas yang termasuk dalam wilayah Bali Barat ini. Sejak awal tahun 1980, nelayan sudah menggantungkan hidup dari komoditas strategis satu ini – ikan katamba, ikan kerapu karang, dan ikan kakap. Banyak perubahan yang terjadi hingga saat ini, termasuk perubahan teknik penangkapan ikan.
Dahulu, nelayan Desa Patas menggunakan bom dan racun potassium. Namun, barulah sekitar tahun 2000, nelayan beralih menggunakan alat yang lebih ramah lingkungan, yaitu panah tembak (speargun). Rusaknya terumbu karang sebagai habitat ikan karang, memaksa nelayan mengubah teknik penangkapan menjadi lebih ramah lingkungan.
Mereka yang biasa melaut hingga Madura, Jawa Timur – ingin bisa melaut dekat rumah tanpa kehilangan sumber daya akibat efek destruktif dari bom dan potassium. Perbaikan praktik perikanan karang ini masih butuh peningkatan dalam berbagai aspek. Baik itu operasional penangkapan, pencatatan, penanganan hasil tangkapan, prinsip-prinsip konservasi, serta pengelolaan perikanan.
Hal-hal ini lah yang kami coba bangun dengan melatih mereka untuk menerapkan BMP Perikanan Karang – sebuah panduan penangkapan dan penanganan ikan karang dengan cara yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab.
Pelatihan dimulai dengan pre test untuk mengetahui pemahaman awal nelayan dan diakhiri dengan post test untuk melihat sejauh mana pemahaman mereka berkembang. Dari hasil rekapitulasi nilai kedua tes tersebut, pemahaman nelayan diindikasikan meningkat sebesar 1,65%.
Apalah arti angka tersebut – karena dengan mata kepala saya sendiri, saya lihat hari itu nelayan begitu aktif melibatkan diri dalam diskusi. Mulai soal permasalahan penangkapan ikan, sampai pada rencana perbaikan ke depannya.
Salah satunya adalah dengan mengisi logbook hasil tangkapan dalam setiap trip melaut. Hal lainnya? Secara bertahap, saya rasa akan segera terlihat dalam pendampingan harian bersama PILANG ke depannya.