TERIMA KASIH ORANGUTAN
Hari ini cuaca cerah. Kami menyusuri tepian sungai kecil di hutan rawa, berjalan dalam diam. Sungai-sungai ini adalah tempat kami memasang pukat untuk menangkap ikan, dan tajuk-tajuk pohon yang menjuntai adalah tempat orangutan mencari buah-buahan. Bila beruntung, hari ini kami bisa bertemu hewan pemalu yang keberadaannya sudah langka di dunia. Benar saja, ada satu individu orangutan bergayut di pohon mengku (Diospyros coriacea), asik makan buahnya tanpa terusik dengan kedatangan kami. Tamu asing yang kami bawa tercengang dan tersenyum senang, kelihatan ia puas bisa menyaksikan orangutan langsung di habitatnya.
Dulu orangutan tidak menarik perhatian ku, dan aku tidak percaya Dusun Meliau ini menarik untuk wisata. Dusun kami letaknya jauh dari keramaian. Kota terdekat, Lanjak sejauh 1,5 jam perjalanan dengan longboat. Tidak banyak orang datang, kami pun tidak sering meninggalkan dusun. Tidak disangka banyak tamu asing dan domestik yang bersedia jauh-jauh datang dan membayar untuk melihat orangutan, satwa yang sehari-hari ada di dekat kami.
Kaban Mayas
Namaku Sodik Asmoro. Aku tinggal di komunitas suku Dayak Iban, dalam sebuah Betang (Rumah Panjang) di Dusun Meliau, Desa Melemba, sebuah desa yang berada di kawasan zona penyangga Taman Nasional Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat – Indonesia. Di belakang Betang kami, adalah hutan tropis yang memberi kami berlimpah manfaat untuk hidup, sekaligus adalah habitat Orangutan Borneo yang menjadi daya tarik wisata daerah ini.
Kami sangat beruntung karena hutan-hutan perbukitan dan rawa di lingkungan alam kami menjadi habitat yang sempurna bagi orangutan. Saat musim buah di Bukit Peninjau adalah waktu yang tepat bagi kami, Kelompok Pengelola Pariwisata “Kaban Mayas” untuk membawa tamu. Orangutan mengonsumsi kurang lebih 60% buah-buahan sebagai makanannya, selain umbut, daun-daunan dan serangga-serangga kecil.
“Kaban Mayas” – artinya ‘sahabat orangutan’ – dimulai sekitar 10 tahun lalu. Kami melakukan pengamatan perilaku orangutan setiap bulan pada tahun pertama, mengenali pergerakannya, menandai pohon-pohon pakannya dan mulai membuat jalur-jalur perjalanan wisata. Kami juga terus berusaha meyakinkan warga desa bahwa keberadaan spesies ini bisa mendatangkan keuntungan buat manusia, keuntungan langsung dan tidak langsung yang telah dinikmati selama ini.
Awalnya aku ragu bahwa orangutan adalah potensi wisata. WWF menawarkan alternatif mata pencaharian ini tahun 2008, yaitu aktivitas wisata yang sekaligus akan melestarikan alam. Apatis, aku menganggap ini program pemerintah yang tidak kami sukai, sampai staf WWF ada yang kami usir dari dusun. Namun mereka terus memberi kami informasi tentang konservasi dan apa manfaatnya bagi kehidupan. Hingga akhirnya tahun 2010 kami mulai tertarik dan perlahan mulai membangun program pariwisata.
Ini bukan perkara mudah, karena warga desa memandang hutan sebagai halaman belakang, tidak ada yang istimewa. Bertahun-tahun kami terus meyakinkan warga, bahwa kegiatan pariwisata orangutan bisa memberi manfaat ekonomi, dari menyediakan akomodasi, transportasi, konsumsi, hingga menjadi guide lokal. Jumlah wisatawan yang awalnya sedikit membuat warga dusun semakin sulit diyakinkan.
Tahun 2019, lebih dari 400 orang wisatawan datang. Kini, warga Dusun Meliau sudah merasakan manfaat ekonomi ekowisata orangutan ini. Ibu Tamin (almarhumah), salah satu penghuni Betang, merasa beruntung karena warga dusun menjaga mayas (orangutan), sehingga kehidupan lebih baik. “Menjaga orangutan berarti menjaga hutan, sehingga sumber-sumber air terpelihara” ujar beliau di kala itu.
Bisnis kami tidak selalu sukses. Ada juga masa sepi, saat orangutan pindah ke hutan seberang danau karena musim buah lebih besar disana. Selain itu, ada kekhawatiran pemburu datang dan menangkap orangutan kami. Kami juga takut, suatu hari ada perusahaan datang dan mengonversi hutan kami. Namun tantangan terbesar sejauh ini adalah masa pandemi Covid-19 ini, karena kami kehilangan pendapatan dari wisata. Tidak ada wisatawan yang datang. Dusun Meliau sepi, kami juga terpaksa menutup diri dan tidak menerima tamu. Sudah hampir enam bulan ini kami seperti terisolasi.
Nenek Moyang Dayak Iban
Perjalanan kami hari ini betul-betul memuaskan. Baik dalam perjalanan dengan longboat maupun saat berjalan kaki, tamu kami melihat sedikitnya empat orangutan yang asik makan. Kami pun asik mengamati orangutan, kedua pihak tidak saling mengganggu sama sekali. Tamu kami bilang, ia akan datang kembali membawa teman-temannya untuk melihat orangutan. Karena itu, ia berharap kami akan terus menjaga hutan dan semua satwa didalamnya.
Aku sudah tidak ragu lagi, keberadaan orangutan membawa berkah yang banyak sekali untuk dusun kami, jadi wilayah hutan adat kami lindungi dan kami upayakan agar mendapat status hutan desa. Orangutan adalah nenek moyang suku Dayak Iban, yang kami hormati dan hargai.
Setelah pandemi berakhir, usaha wisata orangutan akan kami lanjutkan. Warga Dusun Meliau percaya bisnis ini akan segera pulih, tamu-tamu akan kembali datang. Aku berjanji dalam hati untuk menjaga dan melindungi orangutan dan habitatnya. Memanfaatkan sumber daya alam tidak bisa dipisahkan dari perlindungannya. Adat suku Dayak Iban mengajarkan secara turun temurun bahwa manusia tidak boleh menyakiti orangutan, apalagi sampai membunuhnya.
Terima kasih Orangutan, kamu telah hadir sebagai penolong serta pendongkrak ekonomi masyarakat. Impian ku sederhana, orangutan Borneo tetap ada untuk selama-lamanya. Mereka ada dan hidup bersama berdampingan dengan masyarakat Dayak Iban, saling menjaga.