TIM F2F FUNDRAISER WWF-INDONESIA BERKUNJUNG KE HUTAN KOTA SANGGA BUANA
Oleh: Diny Octaviani (Fundraiser WWF-Indonesia)
Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi kota yang ramai dengan gedung-gedung pencakar langit, aktivitas lalu lintas yang sibuk, hingga padatnya populasi penduduk. Bisa dibayangkan betapa sedikitnya ruang untuk berbagi satu sama lain, termasuk berbagi dengan alam. Namun, siapa sangka, di sisi lain kota Jakarta, tepatnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, terdapat Hutan Kota yang luasnya mencapai 120 hektare, meliputi kawasan Jakarta Selatan, Depok, dan Tangerang selatan.
Hutan kota tersebut bernama Sangga Buana. Area yang dulunya merupakan tempat pembuangan sampah telah disulap menjadi lahan konservasi yang sejuk dengan segudang manfaat. Melihat keistimewaan tersebut, F2F Fundraiser WWF-Indonesia melakukan capacity building di Hutan Kota Sangga Buana pada Senin (23/01) silam. Kami dapat secara langsung melihat gambaran sebuah proses konservasi lingkungan, khususnya tentang pengelolaan sampah.
H. Chaerudin atau yang akrab disapa Babe Idin, selaku inisiator sekaligus pengelola Hutan Kota Sangga Buana, dengan terbuka mengajak kami menyusuri kawasan konservasi tersebut. Di beberapa kesempatan, Babe Idin banyak bercerita perjalanan penataan kawasan tersebut sejak 27 tahun lalu. Beliau berkisah bahwa areal tersebut awalnya merupakan kumpulan sampah asal Bogor, Tangerang, Jakarta, dan Cirebon yang dalam sehari kiriman sampahnya bisa mencapai 20 truk.
Kekesalan Babe Idin tentang pengelolaan sampah di Jakarta menjadi acuan dan motivasi beliau untuk berbuat sesuatu terhadap lingkungan sekitarnya. Beliau pun membangun suatu kawasan melalui manajemen kearifan, yaitu melakukan konservasi yang bukan sekedar menghasilkan air bening atau hutan hijau saja, tapi lebih jauh lagi, yaitu bagaimana melakukan “Konservasi Enterpreuneur”.
Babe Idin berharap kegiatan capacity building tim F2F Fundraiser WWF-Indonesia ini bisa membuka suatu pemahaman bagi kami bagaimana suatu “mentalitas jawara” bisa terbentuk dari alam (baca: bergaul dengan sampah). Kegiatan pun dimulai dengan menelusuri bagaimana proses pemfilteran air kawasan ini dilakukan. Pertama, air limbah ditampung dalam kolam kemudian difilter. Proses filterisasi dilakukan dengan menanam lebih banyak pohon bambu supaya dapat meminimalisir masalah-masalah lingkungan. Karena dari hasil penelitian beliau, bambu berguna sebagai penetralisir tanah.
Kami juga mengambil peran untuk ikut menebarkan benih ikan. Jenis ikan yang disebar ke sungai adalah ikan mujair. Tidak lupa kami memanjatkan doa terlebih dahulu semoga si ikan memberi manfaat untuk sungai, alam, dan masyarakat sekitar di kemudian hari. Tak jauh dari aliran sungai hasil filterisasi, kami diajak untuk menelusuri kebun yang banyak ditanami singkong, pepaya, dan pisang. Di sela-sela kesempatan tersebut, kami juga ikut menanam pohon buni.
Kawasan ini memang rutin dimanfaatkan untuk menyebar benih ikan, menanam pohon dan tawasulan (mengirimkan doa untuk para leluhur -Red). Karena pada dasarnya konsep kawasan ini memang bukan untuk komersil, tetapi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk usaha perikanan dan pertanian. Beberapa sarang burung terlihat di Hutan Sangga Buana. Beberapa di antaranya adalah burung endemik.
Ada pemandangan yang sangat menarik setelah melewati panjangnya aliran sungai dengan rimbunnya pepohonan. Dipandu langsung oleh Babe Idin, kami menaiki sebuah jembatan yang ternyata membawa kami ke area perumahan elit. Sejauh mata memandang, kami melihat deretan rumah-rumah besar berdiri kokoh, tak lupa dengan area kolam renang dan lapangan sepak bola modern. Ya, kawasan tersebut masih termasuk ke dalam kawasan Sangga Buana.
Inilah konsep “Konservasi Enterpreneur” yang digadang oleh Babe Idin. Dengan menyamakan persepsi, Sangga Buana bisa berkolaborasi dengan para pihak pengembang tanpa keluar dari koridor konservasi. Membuat kawasan elit dan alam bisa hidup berdampingan dan harmonis. Di kawasan tersebut juga akan dibangun sebuah miniatur Kebun Raya yang rencananya akan ditanami kecapi, sukun, jamblang, dan tanaman endemik lainnya. Pada akhirnya, Kali Pesanggrahan akan mempunyai tiga fungsi, yaitu tempat konservasi, wisata ekologi, dan kawasan edukasi.
Sesuai dengan tujuan awal kunjungan kami ke Hutan Sangga Buana yaitu pengelolaan sampah, kami lalu diajak Babe Idin untuk menjadi pelakon konservasi dengan terjun langsung ke dalam lautan sampah. Di sana kami belajar untuk memilih, memisahkan, dan mengolah sampah sampai akhirnya menjadi abu residu.
Ada beberapa alur pengolahan sampah plastik di kawasan Sangga Buana, diantaranya sampah plastik dipilih menjadi sampah A, B, dan C kemudian difermentasi menggunakan kapur. Hasil fermentasi tersebut kemudian dibakar dalam api bersuhu 200° C selama 24 jam yang kemudian akan menghasilkan abu residu. Abu tersebut bisa dijadikan bata api, sementara uapnya bisa dijadikan elpiji bahkan sumber listrik.
Kegiatan capacity building tim F2F Fundraiser WWF-Indonesia ditutup dengan pementasan teater, bernyanyi, dan foto bersama. Kegiatan ini juga diikuti oleh tim Contact Center serta staf kantor hub Jakarta. Mereka sangat antusias dapat menambah wawasan tentang konservasi. Dengan kegiatan ini diharapkan bisa membuka pemahaman banyak pihak dalam memandang sebuah upaya konservasi. Bahwa pelestarian alam tidak harus bertabrakan dengan kemajuan masyarakat, tapi bagaimana mencari solusi bersama melalui manajemen kearifan agar semua bisa hidup dalam keharmonian, kebersamaan, bahkan saling berdampingan. "Apapun yang akan atau telah kita lakukan pada alam, intinya alam ini bukanlah warisan nenek moyang, tetapi titipan anak cucu kita,” tegas Babe Idin.