BANJIR YANG MEMBAWA BERKAH
Delapan pria dan dua perempuan berdiskusi sambil mempersiapkan diri untuk menaiki speedboat di kawasan Ancol, tepi Sungai Batang Hari, Kota Jambi. Kesepuluh orang tersebut adalah saya, Chief of Party (COP) MCAI Bona Siahaan, (staff MCAI), Sigit Ariyanto (Project Implementation Coordinator WWF Rimba), Dudi Rufendi (Staff Ahli dari WWF Indonesia), Oki Hardian dan Zainuddin (WWF Indonesia), Wita Chrisanti, Ridwan, Gofur dan Desri Edwin (tim dari MCAI).
Kami menuju sebuah kampung terisolir, Desa Manis Mato, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi yang memakan waktu tempuh selama satu jam menggunakan speedboat. Bila menggunakan boat reguler (baca; pompong), maka perjalanan akan mencapai 3 jam lebih dan melewati beberapa daerah yang sedang tergenang banjir luapan sungai Batang Hari.
Speedboat pun meliuk-liuk, menari di atas gelombang-gelombang kecil sungai Batang Hari yang panjangnya mencapai 800 km dari hulu ke hilir. Sepanjang perjalanan, ada begitu banyak kapal-kapal pengangkut berukuran besar yang sedang melakukan aktivitas. Mulai mengangkut CPO, batubara hingga pasir sungai. Pemandangan para pencari ikan tradisional ikut bertaburan menghiasi bibit pantai sungai. Ada yang memancing, menjala atau juga menebar bubu untuk menangkap ikan. Bahkan banyak juga yang sedang mandi atau mencuci.
Kedatangan kami di Desa Manis Mato disambut oleh dua orang anak muda berpakaian pegawai negeri sipil (PNS) yang merupakan Ketua dan anggota BPD Desa Manis Mato. Mayoritas penduduk desa ini bermata pencarian sebagai nelayan sungai dan rawa. Hanya sedikit di antara penduduk yang bercocok tanam padi, karet dan sawit. “Lagi pula, hanya sedikit lahan yang bisa dijadikan kebun atau ladang,” tambah Junaidi, Kaur Pemerintahan Desa Manis Mato.
“Salah satu persoalan terbesar di kampung ini adalah tapal batas,” ujar Wakil Ketua BPD Desa Manis Mato, Hermansyah dalam diskusi dan ramah tamah dengan Tim WWF ID RIMBA bersama tim MCAI.
Menurut Hermansyah, bila musim kering, Desa Manis Mato akan terkena imbas kebakaran lahan gambut akibat sebagian besar kawasan desa mereka adalah kawasan gambut yang mudah terbakar. Di sisi lain, sebagian lahan mereka berbatasan dengan kawasan hutan lindung Londerang dan kawasan perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebuah perusahaan besar dalam negeri. Perusahaan tersebut membangun banyak kanal kecil yang bermuara ke Sungai Batang Hari. Inilah yang menjadi sebab lahan gambut tersebut kerap terbakar sejak tahun 2000-an.
Berbeda dengan musim kering, datangnya musim penghujan yang diikuti dengan banjir musiman menjadi berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa bagi warga di pinggiran Sungai Batang Hari. Hasil sungai dan rawa akan melimpah ruah meski rumah dan halaman mereka harus terendam banjir berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
“Saya pernah mengelola hasil tangkapan masyarakat di sini sampai 8 ton ikan sungai yang diasinkan setiap minggunya. Bahkan untuk jeni belut, saya pernah mendapat 1 ton per hari. Hasil itu semua saya kirim ke Palembang,” kata Kepala Desa Londerang, Jauhari.
Sekretaris Desa Rondang, Budi, mengungkapkan bahwa aktivitas sosial juga tidak berhenti sekalipun tingkat banjir akibat luapan air sungai mencapai 1 atau 2 meter dari permukaan tanah. Lelaki yang juga berprofesi sebagai guru honorer di SD Satu Atap Desa Rondang ini menyebutkan aktivitas belajar mengajar tidak berhenti kecuali untuk murid kelas 1 -3.
“Di sini yang dianggap masalah cuma musim kemarau yang berakibat pada kebakaran lahan gambut dan tapal batas. Tapi kalau musim hujan itu berkah bagi warga, meski banjir menggenangi pemukiman dan sebagian ladang mereka,” ujar Budi.
Itu sebabnya mereka sangat berharap, soal tapal batas dan pengelolaan kawasan hutan gambut dapat direalisasikan dengan mempertimbangkan tata ruang dan pemanfaatan lahan yang berorientasi juga pada kondisi ekonomi masyarakat. Bila tidak, masyarakat hanya akan jadi korban terus menerus. (wwfid/darma lubis)