BERSAMA KOMUNITAS, LANGGENGKAN AKSI KOLABORASI BERSIH PANTAI DAN PENDATAAN SAMPAH PESISIR WAKATOBI
Oleh: Martina Rahmadani (Responsible Marine Tourism Officer, WWF-Indonesia)
Pantai Fatu Sahuu di Desa Kabita, Pulau Kapota, Wakatobi hari itu (28/07/2018) dipenuhi oleh 50 orang yang membersihkan 1,5 km panjang pantainya dari sampah. Bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Dunia, Komunitas Melihat Alam (Kamelia) mengajak WWF-Indonesia, Balai Taman Nasional Wakatobi, Isakapala (Insan Muda Kreatif Pecinta Alam), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Wakatobi, dan seluruh warga Kapota untuk melakukan aksi bersih pantai. Hal ini tentunya sejalan dengan target pemerintah untuk menurunkan 70% polusi plastik lautan pada tahun 2025.
“Kegiatan bersih pantai bersama yang diinisiasi oleh Kamelia ini merupakan langkah yang baik, mengingat pantai Fatu Sahuu merupakan salah satu potensi wisata Desa Kabita, yang harus kita jaga bersama,” ungkap Kepala Desa Kabita dalam sambutan pembukanya.
Pantai berpasir putih yang ikonik dengan sebuah batu yang berdiri di tepiannya (Fatu Sahuu, berarti satu batu) ini pada musim tertentu terlihat kotor dengan tumpukan sampah plastik yang naik pada bagian pesisir pantai. Pada musim lainnya, pantai ini merupakan pantai yang bersih.
“Sampah plastik yang terbawa hingga ke pantai ini bisa jadi telah bertahun-tahun ada di laut dan hanya terbawa di sekitaran pantai di Wakatobi,” jelas Hardin, Koordinator Kamelia, kelompok peduli alam lintas instansi yang berdiri sejak tahun 2016.
”Pantai Fatu Sahuu merupakan salah satu pantai yang terkena imbas dari perilaku masyarakat kita yang dengan mudah membuang sampah di laut. Yuk, kita ubah bersama-sama,” sambung ia.
Proses perbaikan kepedulian lingkungan tersebut juga ditandai dengan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Kabita yang memasukkan aksi bersih pantai sebagai agenda rutin bulanan. “Sebagai wujud rasa tanggung jawab kita kepada lingkungan,” ungkap Edyar, pendamping SPKP Kabita.
Sambil membersihkan pantai, mendata sampah
Gerakan bersih pantai yang dilakukan saat ini tidak hanya aksi untuk mengumpulkan sampah plastik yang ada di pantai namun juga dilakukan pendataan sampah plastik di pesisir dengan metode yang dikembangkan oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) Global Plastic Pollution Project, Australia, menggunakan desain sampling acak.
Metode CSIRO bertujuan untuk mengukur kebocoran sampah plastik yang ditemukan di pesisir pantai dengan menggunakan sistem transek. Transek berarti garis atau jalur untuk mengetahui dan mengamati persebaran atau keterdapatan sampah sepanjang suatu daerah.
Dalam waktu 2 jam dan panjang pantai 1,5 km, kegiatan ini dapat membersihkan sampah plastik dengan berat 700 kg dengan jenis sampah plastik kering. Sampah plastik yang dominan ditemukan berupa botol minum plastik dan gelas minum kemasan. Dari pengamatan pada transek yang dilakukan, ditemukan bahwa dari total 217 sampah, 33% merupakan hard plastic, 47% soft plastic, 7% sterefoam, dan 5% karet. Sisanya adalah kaca, kertas, dan jaring. Rata-rata konsentrasi sampah yang ditemukan adalah 2.7 sampah/m2.
Pendataan awal ini diharapkan juga dapat dilakukan oleh pihak desa dan masyarakat secara luas sehingga data sampah di lautan dapat kita miliki. Data ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan terkait pengelolaan sampah ke depannya, baik yang dilakukan oleh desa maupun pemerintah daerah dan nasional.
Penanganan sampah lautan, dimulai dari diri sendiri
Saat ini, sayangnya, sampah yang dikumpulkan belum diketahui bagaimana pengelolaan yang tepat, hal ini dikarenakan belum adanya lokasi pengolahan sampah terutama sampah plastik di Kapota. Tentunya ini menjadi perhatian pemangku kebijakan, ketika masyarakat mulai bergerak untuk membersihkan sampah di sekitar pesisir pantai, apa yang bisa pemerintah lakukan untuk tahapan pengelolaannya. Sehingga, pengurangan sampah plastik yang ada atau sampah plastik yang mendarat di pesisir pantai dapat tertangani dengan baik.
Penanganan sampah menjadi penting karena sampah plastik yang terkena sinar matahari, terus menerus terkena ombak dan pasang surut, menyebabkan plastik terdegradasi menjadi partikel-partikel kecil atau mikroplastik yang tertelan oleh fauna laut, mengkontaminasi produk hasil laut yang kita konsumsi. Kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia bahwa menurunnya kualitas air dan kerusakan pada ekosistem laut merupakan ancaman yang harus segera diselesaikan.
Butuh upaya berbagai pihak untuk mengurangi sampah plastik di lautan. Tidak hanya aksi bersih pantai, namun juga aksi dari diri kita senidri dengan mengurangi konsumsi plastik sekali pakai dan berlaku bijak dalam menggunakan kemasan plastik. Agar cita cita Indonesia terbebas dari sampah plastik dapat terwujud.