EKOWISATA DI TAMAN PESISIR JEEN WOMOM
Oleh : Hadi Ferdinandus (Technical Leatherback Conservation Management Coordinator WWF-Indonesia Program Papua)
Empat jenis penyu, yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriecea), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) telah menjadikan pesisir Jeen Womom sebagai rumah peneluran yang dikunjungi selama berpuluh-puluh tahun. Tak terhitung ribuan tukik keluar dari cangkangnya dan menuju lautan lepas, menantang predator dan menantangi nasib; hidup atau mati. Perjalanan mereka menjadi cermin kesehatan ekosistem Papua saat ini.
Penyu belimbing merupakan satu dari empat jenis penyu di Taman Pesisir Jeen Womom yang bertarung hidup. Penelitian selama 27 tahun terakhir, 1984-2011 menunjukkan penurunan jumlah penyu belimbing yang mendarat untuk bertelur setiap tahunnya merosot hingga 78,3% dalam kurun waktu terakhir ini. Hasil survei WWF pada tahun 1993 menunjukkan penurunan jumlah tersebut terkait dengan maraknya perburuan dan kematian induk penyu di jalur-jalur migrasi penyu belimbing. Pengambilan telur penyu juga berkorelasi pada jumlah penyu tersebut.
Survei pada tahun 1993 menjadi tahun penting bagi WWF-Indonesia untuk bekerja dalam konservasi penyu. WWF melihat adanya angka penurunan penyu yang drastis sebagai sebuah alarm untuk meningkatkan kualitas tata kelola lingkungan pesisir Jeen Womom. Dalam kerangka pikir konservasi, WWF mencari solusi program, dimana para pihak yang berada di sekitar pesisir tersebut mengambil peran aktif dalam gerakan konservasi.
Namun, program konservasi penyu memiliki tantangan tersendiri. Konservasi penyu di wilayah Taman Pesisir Jeen Womom mensyaratkan keterlibatan aktif warga untuk ikut mengawasi perburuan penyu atau pengambilan telur penyu. “Kita semua memahami bahwa konservasi diperlukan agar alam tetap seimbang. Namun kita juga dituntut untuk menghidupkan program lain—dalam hal ini ekowisata —agar masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari konservasi penyu itu sendiri,” jelas carateker Bupati Kabupaten Tambrauw, Bapak Elisa Sroyer, M.Si pada perwakilan komunitas dan pemerintah pengelola ekowisata Tambrauw.
Elisa Sroyer mengatakan bahwa Taman Pesisir Jeen Womom merupakan bagian dari Kabupaten Tambrauw. Wilayah ini tak hanya menjadi lokasi peneluran terpanjang di dunia, namun juga tempat dimana beragam burung eksotik --kakatua raja, kasuari, mambruk, dll-- mendiami 70% area hutannya. Topografi pegunungan, berbagai spesies pohon dan sungai sungai kecil dengan mata air alami menjadikan wilayah ini surga bagi beragam jenis spesies. “Kekayaan kita luar biasa. Seharusnya ini bisa memberi manfaat bagi warga sini,” kata Elisa.
Pemerintah daerah merencanakan pengembangan program ekowisata dibawah kendali Dinas Pariwisata Kabupaten Tambrauw, dan dengan dukungan WWF-Indonesia. “Secara spesifik, kita memerlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, promosi dan ketaatan pada aspek keberlanjutan,” ujar Elisa lagi.
WWF menyatakan dukungan pada program kepariwisataan yang berkelanjutan di Tambrauw. “Kepariwisataan adalah alat untuk mendorong terjadinya perubahan di tingkatan masyarakat. Prosesnya tak bisa cepat, namun pariwisata adalah solusi yang efektif saat ini,” kata Indarwati Aminuddin, Koordinator Nasional untuk program Kepariwisataan Bertanggung jawab WWF-Indonesia. Ia melanjutkan, di beberapa wilayah seperti Bali atau Wakatobi, perburuan penyu telah diubah bentuknya menjadi sebuah kegiatan yang terbukti meningkatkan nilai ekonomi warga sekitar. “Di Kurma Asih Perancak Bali misalnya, komunitas berhenti berburu. Mereka menghidupkan program donasi sarang penyu, patroli penyu, release tukik dan sebagainya. Tren kunjungan juga meningkat, wisatawan antusias untuk berdonasi pada kegiatan yang mendukung konservasi penyu,” terangnya.
Kegiatan ekowisata lain adalah menghubungkan darat dan laut—mengobservasi penyu, mengamati burung, melihat budaya masyarakat lokal —tanpa mengurangi prinsip-prinsip berkelanjutan. “Bila kita bisa bekerja sama menghidupkan dan mempromosikan konektivitas darat dan laut, serta meningkatkan ketrampilan komunitas lokal untuk menjadi pendamping wisatawan, saya yakin kepariwisataan di Tambrauw bisa bergerak perlahan ke arah yang lebih baik,” pungkas Indarwati.