FESTIVAL PULAU ROON: LAMBANG SUARA HATI MASYARAKAT ROON
Pulau Roon, jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah pulau tempat kayu besi. Pada beberapa tahun yang lalu menurut kisah masyarakat Roon, tempat ini dipenuhi oleh pohon kayu besi, namun seiring dengan pembukaan kampung dan lahan serta meningkatnya kebutuhan ekonomi mengakibatkan jumlah pohon kayu besi di pulau tersebut semakin berkurang. Kini Pulau Roon telah menjadi satu distrik yang terdiri dari 7 kampung, antara lain kampung Yende, Mena, Syabes, Indai, Niap, Sariay, dan Menarbu. Kearifan lokal dan sejarah gereja tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Roon secara turun temurun, dimana kearifan lokal tersebut ditampilkan dalam Festival Pulau Roon pada bulan Juli 2019.
Ini merupakan Festival Pulau Roon yang kedua, dimana kali ini lokasi pelaksanaan dipusatkan di salah satu pantai pesisir Pulau Roon, yang awalnya merupakan lokasi resort milik salah satu marga di Pulau Roon. Resort ini dipromosikan oleh salah satu operator wisata berkewarganegaraan Polandia, namun saat ini tidak dimanfaatkan lagi karena alasan perizinan dan lainnya. Dengan dukungan Kepala Distrik Roon masyarakat pun sepakat untuk membuka kembali lahan ini sebagai salah satu lokasi penginapan dan menjadi pusat informasi wisata dari Distrik Roon.
Dengan dibukanya tempat baru, maka dibutuhkan juga upaya keras untuk mempersiapkannya. Mulai dari mempersiapkan rumah dari bahan lokal, panggung yang eksotik dan menarik hati para pengunjung, hingga memastikan sampah tidak berserakan di Pantai Wasasar. Kegiatan-kegiatan ini pun telah menjadi pekerjaan masyarakat dari 7 kampung di Pulau Roon selama 3 bulan belakangan. Tidak hanya itu, masyarakat Pulau Roon pun diajak untuk berkreasi dalam senda tari untuk menceritakan kearifan lokal dari masing-masing kampung. Tarian pun dibuat, mulai dari tari yang menceritakan kehidupan, keberadaan suatu tempat hingga penginjilan Kristen di Pulau Roon. Persiapan dilakukan dengan segala yang ada pada mereka, sering mereka mengalami keterbatasan namun tetap semangat menampilkan Roon sebagai destinasi wisata terbaik di Teluk Wondama.
Konflik dan kesalapahaman juga menghiasi persiapan festival ini. Sejak pembukaan lahan, pembuatan bangunan resort dan kondisi keuangan menghiasi suka duka persiapan pelaksanaan festival kebanggaan hati masyarakat Roon. Dengan semangat yang membara dari seluruh panitia festival, akhirnya mereka mampu melewati segala kendala tersebut.
Hari yang dinanti-nanti pun tiba. 22 Juli 2019, para panitia dari berbagai tempat mulai berdatangan; tim pencahayaan, musisi, hingga tim konsumsi. Mereka bergegas untuk mempersiapkan segala sisi Festival Pulau Roon kedua yang memiliki tema “Buai Rinemu Kenem Eriria” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “Kearifan Lokal adalah Hidupku”. Penampilan yang eksotik terpancar sejak pertama kali kami tiba di Pantai Wasasar, bangunan-bangunan resort yang berbahan lokal hingga panggung yang luar biasa tertata rapi di pantai ini. Masyarakat dari 7 kampung sekitar Pulau Roon bersaing-saingan membuat sentuhan akhir dari lokasi festival.
Tak disangka dengan bantuan alam mereka bisa membuat sesuatu yang luar biasa yang tak dapat dibuat oleh kami para penduduk kota. Satu persatu mereka menganyam daun sagu menjadi atap dan dinding rumah, menjalin kayu demi kayu dengan tali rotan menyusun setiap sudutnya dengan tanaman hias yang mampu membuat para peduduk kota berlama-lama ditempat ini. Tidak hanya Pantai Wasawar, masyarakat Kampung Niap yang merupakan salah satu kampung yang di tunjuk menjadi lokasi penginapan bagi para tamu telah di poles menjadi penginapan yang nyaman untuk ditempati para tamu. Kehidupan masyarakat yang awalnya tidak berpikir wisata kini mampu membuat para wisatawan ingin berlama-lama mendiami lokasi ini. Kehidupan yang asri dan menyatu dengan alam memberikan satu kesan khusus dari Festival Pulau Roon, terlebih lagi himbauan dari masyarakat Distrik Roon untuk tidak menggunakan air minum kemasan membuat lokasi perayaan Festival Pulau Roon semakin indah.
Pesan khusus dari Bupati Teluk Wondama bagi masyarakat Pulau Roon “Mari jaga tempat indah ini agar kita dapat menampilkan Roon sebagai tempat wisata alam dan budaya yang tak dapat dilupakan dengan membawa botol minum sendiri, kita kurangi penggunaan sampah plastik akibat air kemasan” suatu slogan yang dapat dijadikan untuk menarik hati para pengunjung beramai-ramai datang ke tempat yang takkan terlupakan.
Dimulai dari tarian penyesalan orang Roon terhadap misionaris bernama Godlief Lodwyk Bink (dikenal juga dengan sebutan GL Bink) yang datang membawa “Cahaya” bagi penduduk Pulau Roon, menampilkan jejak penginjilan Kristen bagi masyarakat Pulau Roon. Kearifan lokal dalam menikahkan anak secara adat, konflik dan peradilan adat serta kepercayaan-kepercayaan leluhur pada suatu tempat yang dianggap keramat hingga pembuatan alat musik tradisional, suling tambur, yang sejak dulu digunakan untuk mengiring puji-pujian rohani bagi masyarakat Roon saat beribadah.
Rangkaian acara festival ditutup dengan konser musik dari Om Sandy Betay, penyanyi Papua yang sangat di gemari oleh masyarakat Roon karena berasal juga dari pulau Roon. Kepenatan pun hilang sejenak dilantunkan lagu-lagu memorial yang indah. Bagaikan ungkapan hati masyarakat akan hidup yang apa adanya di Pulau Roon, itulah isi acara festival pulau Roon kedua saat ini. Ungkapan yang menandakan bahwa hidup ini perlu dihargai karena alam telah menyediakan segalanya bagi kita manusia, yang diperlukan hanyalah menghargainya dan menjaganya agar tetap ada dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusianya di masa akan datang.