CITES PERKETAT PERDAGANGAN HIU DAN PARI
Jakarta – Menghindari eksploitasi berlebih dan tak terkendali terhadap jenis ikan hiu dan pari, Pertemuan Para Pihak Ke-17 Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Terancam Punah (COP 17 CITES) di Johannesburg, Afrika Selatan, 24 September -5 Oktober 2016, menyepakati untuk memasukkan jenis hiu kejen (Silky Sharks/Carcharhinus falciformis), hiu tikus (Thresher sharks/Alopias spp) dan pari mobula (Devil rays/Mobula spp) pada Daftar Apendiks II.
WWF-Indonesia menilai kesepakatan tersebut merupakan kemenangan besar dalam upaya pengelolaan pemanfaatan hiu dan pari di seluruh dunia. “Hiu dan pari banyak diburu di Indonesia, dengan masuknya jenis hiu dan pari tersebut pada Daftar Apendiks II CITES, negara anggota setuju untuk memberikan perlindungan dan pengawasan ketat terhadap perdagangannya,” ujar Dwi Ariyoga Gautama, Bycatch & Shark Conservation Coordinator WWF-Indonesia.
Ketiga spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang meratifikasi CITES. Untuk mendukung pengelolaan spesies hiu dan pari, tahun lalu WWF Indonesia bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan dokumen prosiding rumusan Simposium Hiu dan Pari Indonesia. Di Indonesia, Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Hiu dan Pari 2016 – 2020 yang mengatur perlindungan serta perdagangan hiu dan pari telah disusun.
Meski dalam catatan produksi hiu nasional antara tahun 2000 dan 2014 cenderung mengalami penurunan sebesar 28,30 persen, (DJPT, 2016), Indonesia pada tahun 2014 masih menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia. Diketahui pula bahwa rata-rata tahunan hasil tangkapan pari mobula yang didaratkan di Lamakera, Tanjung Luar dan Cilacap selama periode tahun 2001-2014 mengalami penurunan drastis lebih dari 65 persen.
Pelabuhan Perikanan Lampulo Aceh, Karangsong Indramayu, Cilacap, Berondong Lamongan, Muncar, Pelabuhan Benoa, dan Tanjung luar merupakan sentra-sentra pendaratan hiu terbesar di Indonesia. “Mekanisme ketelusuran produk hiu dan pari, pembatasan pintu keluar ekspor, dan pengaturan ukuran tangkap dan pendaratan utuh secara utuh perlu difokuskan sebagai sistem kontrol perdagangan hiu,” tambah Ariyoga.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 34 Tahun 2015 tentang perubahan Permen KP No. 57 tahun 2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan 3 jenis Hiu Martil (Sphyrna spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia Ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Peraturan ini merupakan respons dari dimasukkannya empat jenis hiu dan dua jenis pari manta, hiu koboi (oceanic whitetip) shark, 3 jenis hiu martil (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead), pari manta oseanik (oceanic manta) dan pari manta karang/alfredi (reef manta), pada tahun 2014.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Dwi Ariyoga Gautama, Bycatch & Shark Conservation Coordinator, WWF-Indonesia
Email: [email protected], Hp: +62 811 2331 213
Catatan untuk Editor:
- Catatan Apendiks II CITES memuat daftar sekitar 32.500 spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi akan terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Perdagangan spesies yang termasuk dalam Apendiks II diijinkan dengan syarat harus melampirkan ijin ekspor atau reekspor dari otoritas pengelola dari negara pengekspor.
- Informasi lebih lanjut mengenai spesies dan ketentuan-ketentuan baru yang diberlakukan, silakan kunjungi http://www.cites.org/prog/shark.
- Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Hiu dan pari 2016 – 2020 dapat diunduh melalui http://bit.ly/RAN-hiupari