KAWASAN KONSERVASI BELUM MENJADI “SANCTUARY” BAGI DUGONG DI PULAU KEI DAN SEKITARNYA (2)
Oleh: Syarif Yulius Hadinata (Marine Species Assistant) dan Taufik Abdillah (Marine Spatial and Monitoring Officer) - Inner Banda Arc Sub-seascape (IBAS), WWF-Indonesia
Masyarakat yang bermukim di pesisir perairan Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara, mengenal dugong dengan nama ruwin dan duyung. Bagi nelayan perairan Kepulauan Kei Kecil, perjumpaan dengan dugong saat menangkap ikan menjadi hal biasa.
Terutama, bagi mereka yang melaut di Pulau Sepuluh dan Pulau Lima. Sering sekali nelayan bertemu dengan induk maupun anak dugong di Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) Taman Pulau Kecil, Pulau Kei Kecil, Pulau-Pulau dan Perairan Sekitarnya ini.
Perjumpaan dengan dugong biasanya terjadi ketika nelayan mematikan mesin kapal di lokasi dugong dan habitat lamun. Dalam hening, satu hingga empat individu dugong akan tampak naik ke permukaan, bahkan melewati bawah perahu nelayan yang sedang menunggu ikan memakan umpan pancing atau sangkut di jaring.
Tidak jarang, jaring yang dipasang nelayan rusak karena ditabrak dugong yang berenang. Yang kerap terjadi, dugong tersangkut di jaring nelayan yang berukuran 15 – 40 inci. Jika tertangkap tidak sengaja dalam kondisi mati, dapat dipastikan, dugong akan di-tonda atau diseret dengan pelampung dan diikat di belakang perahu untuk dibawa pulang.
Mimpi buruk bagi dugong yang tertangkap tidak sengaja, dan masih dalam kondisi hidup. Umumnya, hidup mereka diakhiri saat tertangkap tidak sengaja. Selanjutnya, mereka menjadi dugong mati yang dikonsumsi dan diperdagangkan.
Masih ada mitos yang berkembang di masyarakat, bahwa mendapat dugong saat melaut adalah indikasi kemurahan rezeki ke depannya. Apalagi, jika tulang belulang dugong disimpan. Dugong yang tertangkap biasanya dijual dalam bentuk potongan tubuh. Dengan berat 1 – 2 kg/potong, dugong dijual seharga Rp20.000 – Rp50.000/potong. Dugong yang tertangkap mampu menambah penghasilan Rp300.000 – Rp2.000.000 / individu.
Lokasi penjualan dugong tak melulu di desa setempat, tetapi hingga ke Pasar Tual dan Langgur. Selain daging, taring dan tulang rusuk dugong juga tak kalah tenar di pasaran untuk dijadikan cupa atau pipa rokok. Konon, cupa dapat mengurangi kadar racun dari rokok yang dihisap.
Sementara itu, taring dugong yang dikikis dan dicampur dengan air putih, dipercaya sebagai obat tradisional untuk sakit perut anak-anak. Harga taring dugong ini mencapai Rp2.000.000 – Rp15.000.000.
Harga yang fantastis ini berpotensi mendorong perburuan dugong semakin masif - jika tidak segera dilakukan upaya penyadartahuan kepada masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi. Keberadaan dugong hanya dianggap penting karena dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi dan dijual.
Sementara, hanya habitat lamun dianggap penting karena menjadi lokasi nelayan menangkap ikan dan mengambil sumber daya khusus seperti teripang, keong, atau cumi. Hal ini menunjukkan pemahaman dan kesadaran terhadap manfaat ekologi dari dugong yang masih sangat kurang.
Namun, patut diapresiasi adalah bahwa para informan kunci dalam studi ini menyatakan siap berperan dalam mendukung konservasi dugong dan habitat lamun di daerahnya. Sekarang, tugas kita bersama para mitra dan jajaran pemangku kepentingan untuk membuka mata masyarakat mengenai pentingnya hidup dugong berenang bebas di sela lamun, bukan untuk berakhir di sela jaring mereka.
Kalau komitmen ini diseriusi bersama, kasus dugong yang tertangkap dan ditangkap tidak akan terulang kembali - setidaknya di kawasan konservasi ini, “sanctuary” tempat mereka seharusnya merasa aman dan dilindungi.