KONSULTASI PUBLIK RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI LAUT DI SORONG SELATAN
10-15 Februari 2020, melalui dukungan Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA), WWF-Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat memfasilitasi Kelompok Kerja (Pokja) Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) untuk melakukan Konsultasi Publik 1 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Seribu Satu Sungai Teo-Enebikia di Sorong Selatan. Konsultasi Publik 1 merupakan salah satu tahapan yang dilalui dalam rangka Finalisasi Dokumen RPZ sesuai dengan Pasal 30 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2010.
Konsultasi Publik bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan bersama dan masukan dari masyarakat, terkait RPZ KKP Teo Enebikia terutama rekomendasi letak dan luas zonasi serta isu-isu strategis pengelolaan KKP Teo Enebikia. Lebih dari 200 masyarakat terlibat memberikan usulan, rekomendasi, serta kesepakatan bersama di kampung target. Kampung target dipilih melalui kreteria pemberi dampak serta penerima memanfaatkan langsung sumber daya kelautan dan perikanan di dalam KKP Teo-Enebikia.
Ada 18 kampung target dari 7 distrik yang dipilih, yaitu; Kampung Mugibi, Solta Baru, dan Mate di Distrik Inanwatan; Kampung Tapuri dan Yahadian di Distrik Kais; Kampung Mugim dan Nusa di Distrik Metemani; Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda; Kampung Tarof, Tambani, Kenaburi di Distrik Kokoda; Kampung Sayal, Botain, dan Kalabra di Distrik Saifi dan Distrik Seremuk; dan Kampung Sayolo di Distrik Teminabuan.
Pokja RPZ sangat berperan aktif dalam menyampaikan rekomendasi zonasi, terutama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Papua Barat, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Unit pelaksana Loka – Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua (FPIK Unipa), Dinas Perikanan Kabupaten Sorong Selatan, Tim Inisiasi KKP Sorong Selatan dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat melalui kelompok pelaksana Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit VI Sorong Selatan.
Dalam implementasinya, skema zonasi sempat dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pasalnya, masyarakat berpikir sistem zonasi yang dibangun akan memarginalkan ruang akses pencaharian nelayan. “Selama ini penghasilan melaut kami semakin sedikit, sementara kebutuhan operasional semakin besar seiring dengan semakin menjauhnya wilayah tangkap. Jika ada sebagian area yang ditutup lagi, kami akan semakin kekurangan akses terhadap wilayah tangkap” ungkap Ham Saru, pemilik hak ulayat Kampung Sayal, Distrik Saifi.
Namun demikian, pernyataan salah satu peserta tersebut, dicerahkan oleh Tim Inisiasi sebagai narasumber menyatakan bahwa “Pada dasarnya, KKP Teo-Enebikia yang dibangun mengedepankan 3 aspek utama yakni; perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Sistem zonasi KKP merupakan skema pembagian ruang luat sesuai peruntukannya. Misalnya zona inti sebagai ruang perlindungan terhadap wilayah pemijahan dan wilayah pembesaran bagi biota bernilai ekonomis seperti udang, ikan kakap dan ikan kembung, terutama bagi beberapa jenis hewan yang terancam punah dan dilindungi seperti ikan hiu, penyu, pari, dan lainnya,” tegas Terianus Wugaje, sekretaris Tim Inisiasi KKP Sorong Selatan. Terianus juga menambahkan bahwa konsep perlindungan di dalam KKP juga perlu dijalankan melalui skema kolaboratif bersama KPHL yang mana sebagai pengelola hutan lindung dan hutan produksi termasuk di dalam ekosistem mangrove.
Usulan Perubahan Letak dan Luas Zonasi
“Setelah menerima penjelasan terkait sistem zonasi dan peruntukannya, kami jadi sepakat bahwa memang perlu ada ruang laut sebagai zona tabungan ikan, namun perubahan luasannya perlu dilakukan, menimbang wilayah yang direkomendasikan sebagai zona inti adalah wilayah tangkap bagi nelayan tradisional,” ungkap perwakilan Pemerintah Distrik Inanwatan, Petrus Porat.
Masyarakat mengusulkan beberapa perubahan, seperti letak dan luas misalnya zona inti di Distrik Kokoda, masyarakat Kokoda mengusulkan area sejauh 5 mil ke arah laut dari garis pantai termasuk mencakup zona pemanfaatan diubah peruntukannya menjadi sub-zona perikanan tradisional. Perubahan letak dan luas maupun rekomendasi zonasi juga terjadi pada wilayah laut Distrik Kais, Distrik Inanwatan, dan Distrik Saifi.
Proses kesepakatan zonasi ini tidak selalu langsung diterima oleh masyarakat. “Kami (Masyarakat Distrik Konda) menolak Sungai Warungge untuk dijadikan sub zona sasi oleh masyarakat Distrik Kais. Begitu pula perluasan sub zona sasi oleh masyarakat Distrik Saifi. Area itu adalah tempat nelayan kami menangkap udang. Pengambilan keputusan harus melibatkan kami,” ujar Johanes Mabruaru, Tokoh adat kampung Wamargege, Distrik Konda.
Merespon itu, Pokja RZP menggelar Konsultasi Publik I lanjutan di Distrik Konda untuk melakukan audiensi para pemangku kepentingan dari 3 distrik termasuk kepala suku, yakni Suku Nerigo (Distrik Kais), Suku Yaben dan Nagna (Distrik Konda) dan Suku Knasaimos (Distrik Saifi). Setelah melakukan proses pemetaan wilayah partisipatif, dengan pemaparan sub-zona sasi dan peruntukannya serta skema pengelolaan oleh Pokja, masyarakat Distrik Konda menyepakati dan merekomendasikan sub zona sasi baru di sebelah Utara Kali Warungge.
Usulan Program KKP
Masyarakat mengusulkan jika program pengelolaan KKP dapat diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJM/RPJP) Kampung seperti program pengawasan KKP bersama, ataupun program-program yang diusung melalui skema kolaborasi antara pengelola KKP dan pengelola kawasan hutan mangrove.
“Kami akan coba dorong Program KKP pada Musrembang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan) Kampung agar dapat terintegrasi dengan RPJP/RPJMKam,” ungkap Yunias Sianggo, Kepala Kampung Wamargege Distrik Konda. Ini menjadi jawaban atas rekomendasi masyarakat terhadap pengelolaan ruang laut, khususnya sub zona sasi di area sungai, dimana pengelolaanya akan berbasis peraturan kampung/adat dan dikawal secara lansung oleh KPHL.
Sebagai tindak lanjut kegiatan Konsultasi Publik 1, dokumen RPZ perlu direvisi untuk mengakomodir setiap usulan dan rekomendasi dari masyarakat terkait perubahan letak dan luas zonasi termasuk dasar kajian ilmiahnya, program KKP, dan isu-isu strategis. WWF-Indonesia dalam Proyek USAID SEA mendukung serangkaian kegiatan menuju penetapan KKP Teo-Enebikia. Proses revisi dan peninjauan dokumen akan diakomodir pada rapat teknis Pokja RPZ di minggu pertama April, untuk kemudian dilanjutkan pada rapat Pokja Besar sebelum Pokja merumuskan skenario Konsultasi Publik II yang direncanakan pada minggu ketiga April. Rencana Konsultasi Publik II ditargetkan terlaksana pada minggu keempat April, sehingga selanjutnya akan dilakukan revisi akhir draft dokumen RPZ pada bulan Mei, sebelum melangkah pada proses penetapan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.