KOPI LAUT #1 MARINE BUDDIES DENPASAR AJAK PUBLIK ‘MELEK’ ISU BYCATCH DI INDONESIA (1)
Oleh:
- Eta Yuspita (Komunitas Marine Buddies Denpasar); dan
- Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
Hari itu (4/3), ruangan semi terbuka Rumah Sanur – coworking space yang juga menjadi salah satu hub kreatif di Pulau Dewata ini – ramai dihadiri oleh publik untuk mengikuti acara Kopi Laut pertama Komunitas Marine Buddies Denpasar.
Sekitar enam puluh orang yang berasal dari kalangan mahasiswa; akademisi; hotel; komunitas ‘hijau’ dan ‘biru’, LSM; media; dan pemerhati lingkungan hidup, berkumpul untuk mengikuti diskusi santai mengenai isu tangkapan sampingan (bycatch) yang saat ini merupakan salah satu ancaman besar bagi keberlangsungan hidup biota laut (seperti penyu dan hiu) serta perikanan di Indonesia.
Kopi Laut yang bertajuk “Mengenal Bycatch, Mengubah Nasib Hiu dan Penyu di Jaring Nelayan” ini menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Eloq Faiqoh, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Udayana; Permana Yudiarso, Kepala Seksi Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar; dan Wahyu Teguh Prawira, Bycatch Hook & Line Officer, WWF-Indonesia.
“Bycatch itu merupakan tangkapan sampingan yang didapat oleh nelayan, yang mana tangkapan tersebut bukan merupakan target utama mereka. Dampak dari bycatch ini juga tidak main-main. Tidak hanya bisa menyebabkan kepunahan dari spesies dilindungi seperti penyu; hiu, lumba-lumba; paus; dan pari manta, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan rantai makanan dan ketidakstabilan dari ekosistem laut,” papar Eloq Faiqoh, saat membuka sesi diskusi santai sore itu.
“Setiap tahunnya, terdapat 250.000 penyu; 100 juta hiu; serta 300;000 lumba-lumba dan paus menjadi ‘korban’ bycatch di perairan dunia. Sekitar 40% dari hasil tangkapan sampingan ini dibuang ke laut dan sebagian besar berujung pada kematian bagi satwa-satwa ini,” ungkap Permana Yudiarso.
“Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengurangi ancaman bycatch di Indonesia, seperti menetapkan status perlindungan, larangan ekspor, dan pengaturan penangkapan ikan di laut lepas,” tambahnya.
Wahyu Teguh Prawira juga mengatakan bahwa penyebab terjadinya bycatch adalah penggunaan Alat Penangkapan Ikan (API) yang kurang selektif dan tidak ramah lingkungan. Di Indonesia, longline (rawai) dan gill net (jaring insang) merupakan API dengan potensi bycatch yang cukup tinggi.
“Sebagai upaya mitigasi bycatch pada API longline, WWF-Indonesia telah melakukan sosialisasi dan uji coba teknologi di tiga pelabuhan tuna terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Benoa, Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, dan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (Muara Baru).
Salah satu alat mitigasi pada longline adalah circle hook, yaitu kail yang dirancang melengkung menyerupai huruf ‘C’ dengan diameter yang disesuaikan dengan target tangkapan nelayan. Alat ini berfungsi untuk menghindari tertangkapnya penyu pada API longline dan mengurangi resiko pancing tertelan oleh satwa itu,” jelas pria yang mendedikasikan dirinya untuk melatih nelayan dalam penanganan hasil tangkapan sampingan di 123 lokasi di Indonesia.
“Selain circle hook, ada lampu LED hijau (light stick) yang dapat menghindarkan penyu dari jaring. Sejauh ini, penggunaan teknologi tersebut berhasil menurunkan angka bycatch penyu pada jaring insang hingga 75% di Desa Liku, Kalimantan Barat,” ujar Teguh, yang menambah daftar langkah nyata yang telah ditempuh pemerintah dalam menekan angka bycatch di Indonesia.