CERITA DI BALIK NELAYAN DI AMBANG KEPUNAHAN
Oleh: Muhammad Fahmi (Koordinator Marine Buddies Makassar)
“Di kampung saya nelayan lebih memilih menjadi tukang ojek dan buruh harian daripada melaut mencari ikan. Bukannya tidak mau menangkap ikan menggunakan alat ramah lingkungan, tapi uang saku nelayan bisa habis untuk menyetor kepada oknum penegak hukum yang tidak bertanggung jawab”, ungkap Pak Fahri dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Sulawesi Selatan.
Dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat agar lebih selektif dalam memilih dan mengkonsumsi hasil laut yang tidak hanya baik bagi dirinya tetapi baik pula untuk lingkungan, Jaring Nusantara mengadakan diskusi santai bertajuk Afternoon Coffee Discussion: Nelayan di Ambang Kepunahan pada Sabtu, 26 November 2016 kemarin di Kedai Kopi Keiko Perintis Kemerdekaan, Makassar.
Sejak pukul 13.00 WITA semua peserta sudah mulai berdatangan dengan latar belakang yang berbeda, seperti mahasiswa, siswa, pengunjung kedai kopi yang secara tidak langsung terlibat hingga dosen dari Universitas Hassanudin ikut serta dalam diskusi ini. Sebelum diskusi berjalan, Idham Malik, perwakilan Jaring Nusantara, membuka acara dengan pengenalan kegiatan Jaring Nusantara dan dilanjutkan dengan penayangan video pengelolaan dan penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari Fish n’ Blues serta video panduan #BeliYangBaik milik WWF-Indonesia. Selanjutnya moderator diskusi, Muhammad Fahmi, selaku Koordinator Marine Buddies Makassar, memandu dan memberikan pandangan singkat mengenai kegiatan diskusi serta memperkenalkan narasumber yang berasal dari akademisi, praktisi antropolog maritim dan pihak pemerintah sendiri dalam hal ini BLHD Provinsi Sulawesi Selatan.
Saat diskusi berlangsung banyak fakta terungkap serta opini para praktisi dan pemerhati lingkungan terhadap kondisi nelayan di wilayah Sulawesi Selatan. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Pak Fahri di atas, Bapak Dr. Syaifuddin Yusuf S.T. M.Si, Dosen Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin serta pemerhati kehiduan masyarakat nelayan, mengemukakan adanya aktivitas illegal fishing yang massif dan sulit dikontrol di Sulawesi Selatan.
Menurutnya, pada 10 - 20 tahun belakang ini nelayan tidak bisa lagi menolak untuk melaut mencari ikan dan hasil laut karena alasan ekonomi dan masalah perut, dimana semua hasil laut baik yang masih utuh dan layak konsumsi atau yang hancur dan tidak layak konsumsi tetap ada peminatnya di pasar. Padahal, harga sewa alat tangkap dan perahu semakin mahal sehingga nelayan harus berpikir dua kali untuk tidak mencari hasil laut.
Senada dengan Bapak Syaifuddin, Bapak Muhammad Neil S.Sos M.Si, selaku Antropolog Maritim, menjelaskan bahwa terjadi pertukaran tempat pencaharian hasil laut di kawasan Spermonde, khususnya di beberapa pulau kecil Makassar dan pulau terluar Kabupaten Pangkep. Beberapa ikan yang masyarakat Makassar konsumsi justru ditangkap bukan lagi di perairannya. Bahkan sampai ada nelayan Kabupaten Jeneponto ditangkap polisi Australia karena jelajahnya yang sudah tidak seperti dahulu untuk memenuhi permintaan pasar. Ternyata dibalik cerita ini, hasil tangkapan nelayan bergantung pada istrinya yang sangat berperan penting untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
“Istri nelayan kita sekarang sudah pintar, mereka punya trik sendiri supaya suaminya sering melaut, dengan cara membeli persediaan sembako selalu dalam jumlah sedikit agar nantinya cepat habis, karena ketika sembako itu dibeli banyak itu sama saja membuat suaminya malas melaut karena masih menganggap persediaan sembako di dapur masih ready stock” tambah Bapak Syaifuddin. Dipenghujung diskusi, Darwan, selaku panitia pelaksana mengatakan akan melakukan kegiatan diskusi ini secara rutin dan berkelanjutan dengan konsep dan tema yang berbeda.