MEDIA BRIEF AND IN-DEPTH DISCUSSION LIVING PLANET REPORT 2018: POLA KONSUMSI DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Oleh: Burhanudin Fakhri Kusuma
Laporan terbaru WWF menunjukkan hal yang mengkhawatirkan, populasi global spesies vertebrata (hewan bertulang belakang) rata-rata menurun sebesar 60 persen hanya dalam kurun waktu 40 tahun. Permasalahan besar ini dipicu oleh eksploitasi sumber daya alam dan agrikultur yang berlebihan karena tingginya permintaan manusia.
Menanggapi laporan tersebut, WWF-Indonesia menyelenggarakan Media Brief and In-depth Discussion Living Planet Report 2018 : Aiming Higher pada Jumat, 16 November 2018 di Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Diskusi bertujuan untuk memberikan pemahaman secara komprehensif tentang kondisi alam dan keanekaragaman hayati kepada masyarakat. Diskusi ini dibuka oleh Lukas Laksono Adhyakso (Direktur Konservasi WWF-Indonesia), dimoderatori oleh Aditya Heru Wardhana (Ketua Society of Indonesia Environmental Journalist), dan menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya adalah: Thomas Barano (Head of Conservation Science Unit WWF-Indonesia), Prof. Jatna Supriatna (Ketua Research Center for Climate Change–Universitas Indonesia), dan Dr. Budi Setyadi Daryono, M. Agr. SC (Ketua Konsorsium Biologi Indonesia).
Diskusi ini dihadiri oleh para peserta yang terdiri dari awak media dan micro influencer. Hadirnya para undangan dapat menyebarkan informasi secara masif agar masyarakat luas dapat memahami masalah yang nyata hadir di depan kita, sehingga gerakan bersama dapat diwujudkan untuk menyelamatkan masa depan bumi tempat kita tinggal.
“Lingkungan merupakan infrastruktur kehidupan. Oleh karena itu, isu lingkungan seharusnya menjadi arus tengah karena sama pentingnya dengan isu-isu lain seperti isu sosial, ekonomi, dan lain lain,” kata Lukas Laksono.
Berbagai masalah yang dijabarkan dalam Living Planet Report 2018 sebenarnya muncul akibat konsumsi manusia yang melebihi kapasitas bumi untuk menyediakannnya. Thomas Barano mengatakan bahwa rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati terjadi karena kecenderungan manusia yang mengelola sumber daya alam dengan cara yang tidak berkelanjutan. Alam telah memberikan “pelayanan” yang maksimal, namun manusia terus merusak dan mengeksploitasinya dengan berbagai alat-alat yang semakin canggih. Karenanya, dibutuhkan usaha bersama agar dapat mengurangi dampak buruk yang merusak keanekaragaman hayati.
“Permintaan global terkait suatu produk dan makanan yang naik serta pola gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan keanekaragaman hayati menurun dan berkurangnya kualitas lingkungan. Oleh karena itu diharapkan dari individu, sektor bisnis, dan pemerintah dapat bersinergi mengubah cara hidup yang dapat merusak alam,” papar Thomas.
Indonesia sendiri turut serta berkontribusi menurunkan jumlah keanekaragaman hayati. Menurut Prof. Jatna Supriatna, salah satu penyebabnya adalah metode pengelolaan yang tidak tepat terhadap potensi sumber daya alam yang Indonesia miliki. Prof. Jatna menjelaskan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk sumber pangan dan obat-obatan. Namun seringkali kurangnya sumber daya manusia yang berkompeten serta pengelolaan yang kurang tepat, membuat keadaan keanekaragaman hayati menjadi terancam.
“Negara Indonesia ini green gold, banyak dari alam kita ini yang dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga dapat berguna untuk menunjang kehidupan. Tentu ini harus dijaga agar tetap berkelanjutan. Menangani hal ini, kata conservation artinya secara keseluruhan bekerja bersama untuk memelihara lingkungan, udah bukan waktunya lagi kita berkompetisi. Kita harus bersinergi,” pungkas Prof. Jatna.
Tak hanya pemerintah dan swasta, kalangan akademisi juga memiliki peran penting terhadap penyelesaian masalah lingkungan yang ada. Budi Setyadi Daryono menekankan bahwa ekonom dan ilmuwan sosial harus juga diajak bahu membahu menyelesaikan isu ini.
“Misalnya dengan mengajak ilmu ekonomi turut andil, maka kawasan konservasi dapat dimanfaatkan untuk sumber pendapatan kebutuhan manusia sekaligus turut menjaga alam, lebih jauh lagi dapat mengurangi potensi kepunahan satwa,” jelas Budi.
Lantas bagaimana kita dapat menyeimbangkan pola konsumsi dan pelestarian lingkungan? Budi menjelaskan bahwa kurangnya afeksi terhadap lingkungan dapat menciptakan manusia yang pintar namun serakah, dan ini menjadi penyebab rusaknya lingkungan. “Pendidikan adalah kunci agar manusia bisa bijak dan dapat menyeimbangkan kebutuhan pribadi dan kelestarian lingkungan,” terang Budi.
Pada dasarnya kita harus memfokuskan diri pada dua agenda yaitu lingkungan dan pembangunan karakter dan pola pikir manusia. Kedua fokus tersebut harus konvergen guna membangun masa depan yang berkelanjutan. Living Planet Report 2018 dapat menjadi alasan yang kuat untuk komunitas global dalam melindungi dan memulihkan alam. Tiap individu memiliki peran yang sama untuk mengembalikan alam yang hilang. Banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari yang sederhana seperti mengurangi pemakaian kantong plastik sekali pakai dengan membawa tas kain, mengurangi emisi gas rumah kaca dengan berjalan kaki atau naik sepeda untuk jarak dekat, makan secukupnya agar tidak ada makanan yang terbuang, dan menjalankan gaya hidup ramah lingkungan. Satu hal kecil bisa berdampak besar, satu hal baik dapat menyelamatkan bumi. Ayo mulai mengubah pola hidup kita menjadi lebih berkelanjutan!