MENELUSURI SEJARAH PERIKANAN KERANG DI BANJAR KEMUNING
Oleh: Fransiska Sonya Puspita (Capture Fisheries Assistant)
Desa Banjar Kemuning, Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu Desa yang berada di wilayah pesisir. Pemanfaatan hasil laut sudah menjadi aktivitas harian masyarakat yang ada di Desa Banjar Kemuning. Aktivitas penangkapan yang terus dilakukan tanpa disadari memberikan dampak bagi keberadaan sumber daya perikanan itu sendiri seperti penurunan hasil tangkapan.
WWF-Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan dari Universitas Airlangga melakukan penggalian data historical catch penangkapan kerang bulu (Anadara ovalis) yang ditangkap menggunakan alat tangkap garit di Desa Banjar Kemuning pada tanggal 13-16 Januari 2017. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan enam orang mahasiswa dari Universitas Airlangga dan Universitas Trunojoyo Madura. Dengan tujuan untuk merekonstruksi aktivitas penangkapan kerang dalam waktu tertentu sebagai dasar dalam analisis Harvest Control Rules (HCR), pengumpulan data historical catch dilakukan dengan metode wawancara mendalam (depth interview) terhadap 50 nelayan Desa Banjar Kemuning.
Perairan di Kabupaten Sidoarjo tak hanya menjadi sumber mata pencaharian bagi nelayan Desa Banjar Kemuning saja, tapi juga bagi nelayan dari kabupaten lain untuk mencari kerang. Menurut informasi yang didapatkan, nelayan dari Kabupaten Pasuruan menjadi nelayan yang paling banyak menangkap kerang di Perairan Sidoarjo. Hal ini menjadikan keberadaan kerang di Perairan Sidoarjo berkurang, maka pada tanggal 17 Januari 2017 tim melakukan penggalian data historical catch terhadap 23 responden di Desa Kalirejo, Kabupaten Pasuruan.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa banyak perubahan yang terjadi sejak aktivitas penangkapan kerang di mulai hingga saat ini. Perubahan bisa dilihat dari ukuran perahu, alat tangkap yang digunakan dan hasil tangkap nelayan setiap harinya. Rata-rata nelayan mengganti perahu dengan ukuran lebih besar yang dilengkapi motor penggerak. Alat tangkap yang digunakan berubah dari berbahan kayu menjadi besi, kemudian berubah menjadi stainless steel. Perubahan struktur alat tangkap tersebut dilakukan agar alat tangkap dapat digunakan lebih lama dan memperkecil biaya perawatan.
Selain itu, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah terjadi perubahan dari hasil tangkapan dan perubahan ukuran kerang. Menurut salah seorang nelayan, hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan pada tahun 2014-2015 dibandingkan tahun sebelumnya. Musim paceklik tersebut membuat nelayan beralih menangkap ikan dan udang. Hal ini juga diduga karena penangkapan yang tidak terkendali. Ukuran kerang yang mengecil diduga karena kerang harus bereproduksi dini akibat dari tekanan penangkapan. Hal ini kemudian berdampak pada nelayan yang tidak bisa mengincar pasar ekspor, sehingga nelayan hanya menjual kerang ke pasar lokal.
“Dulu saya bisa dapat satu ton kerang setiap hari, tapi sekarang 100 kg sudah paling banyak dan ukurannya lebih kecil dari yang dahulu ditangkap”, ujar Bapak Naim, nelayan Banjar Kemuning saat diwawancarai.
Kepunahan sumber daya kerang akan terjadi sebagai akibat dari penangkapan yang tidak terkendali. Maka dari itu perlu adanya skema pengaturan pengendalian penanangkapan HCR. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, Universitas Airlangga akan mengkoordinasikan penyusunan HCR ini dan didukung oleh seluruh stakeholder terkait. Dengan harapan, hasilnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan kerang di Kabupaten Sidoarjo.