KEINDAHAN SEMU
Penulis: Amkieltiela (Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia)
Pertama kali diputuskan akan mengadakan ekspedisi ke wilayah Koon, saya sangat bersemangat. Pasalnya, ekspedisi ini akan menjadi pengalaman pertama saya ke lokasi ini. Begitu banyak cerita positif yang saya dengar tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Koon dan Pulau Neiden; mulai dari ikan-nya yang melimpah, keanekaragaman terumbu karangnya yang tinggi, hingga budaya kerajaannya yang masih kental. Segera saya menghubungi Opik (panggilan akrab Taufik Abdillah, staf WWF-Indonesia Program Inner Banda Arc Subseascape/IBAS) untuk berkoordinasi persiapan karena kegiatan ekspedisi ini menjadi tanggung jawab kami.
Persiapan kami awali dengan mengidentifikasi kebutuhan selama kegiatan, identifikasi anggota tim, hingga penyusunan rancangan anggaran. Setelah kurang lebih 2 bulan mempersiapkan kegiatan RHM, tepat tanggal 13 April 2016, seluruh tim berkumpul di Ambon dengan FRS Menami yang sudah menanti. Tim terdiri atas perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Seram Bagian Timur, Balai Taman Nasional Wakatobi, TNI–AL Ambon, Yayasan Terangi, dan WWF-Indonesia.
Sayangnya, keberangkatan menuju KKP Pulau Koon dan Pulau Neiden terpaksa tertunda hingga tanggal 17 April 2016 karena exit clearance kapal yang belum keluar. Selama menunggu, hari-hari kami diisi dengan workshop dan kegiatan bermanfaat lainnya. Tepat pukul 10.00 WIT tanggal 17 April 2016, FRS Menami bertolak dari Ambon menuju KKP Pulau Koon dan Pulau Neiden dan tiba esok harinya pukul 11.00 WIT. Tim dibagi menjadi dua dan masing-masing langsung melakukan pengambilan data RHM di satu lokasi. Selanjutnya, RHM dilakukan selama 3 hari ke depan. Lokasi pengambilan data tersebar di dalam maupun di luar KKP sebagai data dasar untuk melihat status ekosistem terumbu karangnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan hal yang bertolak belakang dari informasi yang selama ini saya dapatkan. Meskipun mayoritas ekosistem terumbu karang cukup baik, ternyata masih banyak ditemukan pecahan karang (rubble) yang mengindikasikan masih adanya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan atau alat tangkap yang merusak, misalnya bom dan potassium. Padahal wilayah ini telah dicadangkan oleh bupati setempat pada tahun 2011 dan didukung oleh Kerajaan Negeri Kataloka dengan membentuk kawasan Kesepakatan Konservasi Laut (Marine Conservation Agreement/MCA) di tahun yang sama. (Baca juga Pemanfaatan berbasis Hak Petuanan di Pulau Koon, Maluku)
Selain itu, di sebagian besar lokasi pengamatan ditemukan fenomena pemutihan karang (bleaching), terutama pada karang lunak (soft coral) dan anemon (rumah bagi ikan badut/clown fish, Nemo). Sedangkan pada jenis karang keras (hard coral), sebagian besar ditemukan memucat, terutama yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang (branching). Pemutihan karang merupakan fenomena keluarnya alga (zooxanthellae) dari hewan karang. Seperti kita ketahui, hewan karang bersimbiosis mutualisme dengan alga zoonxanthellae yang memberikan ‘makan’ untuk hewan karang. Sebaliknya, hewan karang memberikan perlindungan dari predator bagi alga. Hilangnya zooxanthellae dari hewan karang dapat mengakibatkan kematian pada hewan karang karena tidak adanya asupan nutrisi yang mencukupi. Umumnya fenomena bleaching ini disebabkan oleh peningkatan suhu permukaan laut. Salah satu indikasi penyebab kenaikan suhu permukaan laut di tahun 2016 ini adalah El Nino.
El Nino merupakan istilah dalam Bahasa Spanyol yang artinya anak laki-laki. El Nino adalah interaksi antara laut dan atmosfer dalam skala luas yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik bagian Tengah hingga Timur (NOAA, 2016). Di tahun ini, El Nino dimulai dari bulan Januari 2015 hingga May 2016. Kenaikan suhu tertinggi dari fenomena alam ini adalah sebesar 2,4oC yaitu pada bulan November 2015 dan mulai menurun perlahan sampai dengan bulan Mei 2016 (Becker, 2016). Fenomena bleaching yang ditemukan di sekitar KKP Pulau Koon dan Pulau Neiden diperkirakan merupakan dampak dari El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk melestarikan kawasan. Berbagai cara perlu dilakukan untuk meminimalisir tekanan terumbu karang agar dapat kembali seperti sedia kala dan terus menyediakan sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Referensi
- Becker, E., 2016. NOAA Climate.gov. [Online] Available at: https://www.climate.gov/news-features/blogs/enso/may-2016-el-ni%C3%B1ol… [Accessed 25 May 2016].
- NOAA, 2016. National Oceanic and Atmospheric Administration United States Department of Commerce. [Online] Available at: http://oceanservice.noaa.gov/facts/ninonina.html [Accessed 25 May 2016].