PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK KEHIDUPAN
"Pernahkah kita terpikir bahwa kehidupan berada di bawah kaki kita. Seperempat dari semua kehidupan di bumi di bawah kaki kita, mulai dari bakteri yang tak terlihat secara kasat mata hingga semut, cacing, dan hewan kecil lainnya. Semua makhluk ini bekerja dan mempengaruhi struktur dan komposisi tanah. Mereka mengandung banyak nutrisi yang bekerja mempengaruhi kesuburan tanah yang berkaitan erat dengan produksi pertanian masyarakat. Bahkan tanah juga mengandung obat-obatan. Namun bagaimana kita selama ini memperlakukan teman kecil kita ini dan tempat tinggal mereka?
Ternyata pola pertanian yang tidak berkelanjutan, limbah, deforestasi, aktivitas pertambangan dan industri, dan praktek-praktek tidak berkelanjutan lainnya selama ini telah merusak kualitas tanah, menyebabkan polusi tanah, dan membunuh mikroorganisme yang berakibat buruk terhadap kemampuan tanah untuk menumbuhkan dan menyuburkan tanaman. Pemupukan, pestisida, pupuk, serta penggunaan varietas-varietas sintetik yang rakus hara yang dianggap sebagai revolusi pertanian modern telah mengubah proses alamiah tanaman yang semula hanya mengandalkan unsur-unsur hara asli dari dalamtanah. Meskipun cara ini diklaim berhasil meningkatkan produksi pertanian, namun meninggalkan dampak negatif yang cukup serius pada kualitas tanah dan menurunnya keanekaragaman hayati.
WWF bekerja mendorong pertanian berkelanjutan. Di lanskap Sumatera Bagian Selatan khususnya di Provinsi Lampung dan Bengkulu, hal ini diwujudkan dalam program peningkatan kapasitas masyarakat dalam praktek pertanian berkelanjutan. Program yang sudah berjalan sejak 2009 ini telah melatih sedikitnya 2.047 petani di 27 desa yang melingkupi Kabupaten Pesisir Barat, Tanggamus, dan Lampung Barat di Lampung, serta kabupaten Kaur di Bengkulu.
Konsep pertanian berkelanjutan ini bertujuan untuk mendorong petani memahami proses ekologi yang mempengaruhi tanaman, mengenali hama dan penyakit tanaman, dan memberikan keterampilan kepada petani untuk memproduksi pupuk, pestisida, fungisida, atau input pertanian lainnya secara mandiri dan tidak bergantung pada produk kimia. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas tanah dan mengurangi biaya produksi yang mereka keluarkan.
Berkat pelatihan sekolah lapang pertanian berkelanjutan yang dijalankan bersama masyarakat petani di desa-desa penyangga TNBBS, berbagai fasilitator sekolah lapang berhasil dilatih untuk berbagi pengetahuan mereka kepada petani lain sehingga daya jangkau dari program ini semakin luas. Bukan hanya pelatih, di berbagai desa muncul pula kelembagaan petani yang berhasil menghimpun petani untuk menghasilkan produk pertanian berkelanjutan yang dipasarkan di dalam kelompok tersebut. Beberapa diantaranya sudah berhasil memasarkan produk pertanian organik petani dan berhasil meningkatkan harga jual pertanian mereka.
ini menjadi salah satu capaian dalam mendorong produsen yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan praktek pertanian berkelanjutan. Namun hal yang tak kalah penting adalah mendorong semakin banyak konsumen bertanggungjawab dengan salah satu kriterianya adalah Ecological Responsibility yang memiliki pemahaman tentang segala akibat dari pola konsumsinya bagi lingkungan. Hal ini menjadi tantangan besar karena dari hasil survey yang dilakukan oleh WWF dan YouGov menemukan bahwa 91% masyarakat tidak menyadari bahwa sistem pangan merupakan ancaman terbesar bagi alam, bahkan lebih mengkhawatirkan lagi karena ternyata sepertiga dari semua makanan yang dihasilkan tidak pernah dikonsumsi. Sehingga ke depannya WWF berkomitmen untuk terus mendorong sistem pangan berkelanjutan.