ALEX WAISIMON, SANG PENJAGA CENDRAWASIH
Oleh: Natalia Trita Agnika
Hari ini, 10 November, merupakan peringatan Hari Pahlawan. Sosok pahlawan merupakan sosok yang berani berjuang tanpa pamrih, memperjuangkan sesuatu yang bukan demi kepentingannya sendiri. Mereka yang rela mengorbankan zona nyaman, memperjuangkan kepentingan masyarakat, serta berkorban demi kelestarian lingkungan juga memiliki karakter pahlawan. Alex Waisimon, sang penjaga cendrawasih adalah salah satunya.
Alex Waisimon, pria sederhana yang tinggal dengan sederhana di pinggir hutan di Distrik Nimbokrang ternyata petualangannya tidak sederhana. Berawal dari kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga hingga semester 4, Pak Alex kemudian bergabung dengan Red Cross Asia Pacific dan mulai menapakkan kakinya keluar Nusantara. Jiwa ingin membantu dan bertualangnya juga membawanya bergabung dengan International Labor Organizations (ILO) yang membawanya keliling dunia memperjuangkan nasib rekan buruh di beberapa belahan dunia, seperti demo buruh di Korea. Kakinya melangkah jauh sampai juga ke Costa Rica, Amerika Latin, Karibia, Prancis, Belanda, Suriname, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kamboja, India, Laos, Birma, Fiji, Vanuatu, Australia, dan Cina.
Pak Alex juga pria sederhana dengan segudang talenta. Kemahirannya memasak menjadikannya chef di Restoran Italia di Hamburg, Jerman, sampai akhirnya pada tahun 2007, Pak Alex memutuskan kembali ke Indonesia, tepatnya ke Bali dimana kecakapan bahasa Inggrisnya digunakan untuk menjadi tour guide. Pada tahun 2014, Pak Alex menyatakan ingin membangun tanah kelahirannya sendiri, Papua. Ia rela meninggalkan segala kenyamanan yang diperolehnya. Ia pun meninggalkan istri dan keempat anaknya di Bali karena anak-anaknya masih bersekolah. “Saya pergi kemana-mana, tapi tak pernah menemukan tempat seindah tempat kelahiran saya. Bangun pagi sudah ada suara burung. Pagi-pagi burung memuji Yang Kuasa dengan suara indahnya. Saya tak bisa menemukan sungai yang jernih di negeri orang lain,” tuturnya mengungkapkan alasannya kembali ke tanah kelahirannya.
Menjaga Cendrawasih
Selama delapan bulan berada di tanah kelahirannya, Pak Alex dapat mengenali berbagai jenis burung dan suaranya. Pak Alex mempelajari sifat burung-burung tersebut, terutama Twelve Wired Bird of Paradise (burung cendrawasih mati-kawat/ Seleucidis melanoleucus –Red) dan Lesser Bird of Paradise (burung cendrawasih kuning kecil/ Paradisaea minor –Red). Keduanya merupakan bagian dari keluarga Burung Cendrawasih yang merupakan kebanggaan Papua.
Di dalam hutan, Pak Alex membangun gubuk pemantauan yang tidak permanen dan sangat menyatu dengan alam. Sekilas, gubuk tersebut nampak seperti bagian dari hutan sehingga para pecinta burung dapat mengamati perilaku burung-burung surga tanpa mengganggunya. Kebanyakan para pecinta burung yang datang untuk mengamati burung cendrawasih bukan berasal dari Indonesia. Pak Alex hapal dan menguasai nama-nama burung yang ada di hutan. Tapi ia selalu meminta maaf karena hanya mengetahui namanya dalam Bahasa Inggris.
Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, tempat tinggal Pak Alex memang dikenal sebagai salah satu spot bird watching. Uniknya, para pencinta burung yang hendak menemui Pak Alex hanya mengirimkan pesan singkat saja dan Pak Alex akan siap sedia menjadi pemandu. Saat ditanya bagaimana bila yang kirim pesan singkat tidak datang, jawabnya, ""Tidak apa, saya sudah siap karena saya selalu di sini"". Orang-orang yang mencari Pak Alex mendapatkan nama dan nomor teleponnya dari sesama komunitas pengamat burung. Tidak sedikit diantaranya adalah fotografer profesional dari media internasional, seperti National Geographic dan BBC.
Menikmati burung-burung surga memang ada waktu khususnya. Sebagai contoh, Twelve Wired Bird of Paradise hanya terlihat sampai sekitar pukul 6.30 WIT. Beberapa burung hanya ada di pagi hari sampai pukul 9.00 WIT dan ada juga yang nampak di sore hari. Waktu paling menyenangkan untuk melihat burung adalah setelah hujan. Meski medannya jadi relatif lebih berat, pengamatan akan sepadan dengan perjuangannya. Burung-burung surga itu paling senang menari dan bermain bersama di antara pucuk-pucuk daun tertinggi.
Salah satu ancaman terbesar terhadap hilangnya sumber daya hutan dan kekayaan genetik (flora dan fauna endemik) yang masih tersisa di hutan adat “Tabo Kutumai” adalah sebagian wilayah yang sudah dilepaskan untuk investasi sawit dan konversi lahan. Karena itulah, Pak Alex mengajak masyarakat di sekitarnya untuk memperjuangkan burung-burung surga ini dengan cara mempertahankan dan menjaga hutan supaya tidak dialihfungsikan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan potensi ekowisata melalui kegiatan “bird watching” yang bisa memberikan nilai ekonomi sekaligus menjaga keberlanjutan burung-burung Cendrawasih dan alamnya.
Mendukung Penuh Upaya Konservasi
Dalam 1,5 tahun saja sudah terlihat hasilnya. Awalnya orang hanya bisa melihat 1-2 ekor burung. Sekarang sedikitnya sudah bisa melihat 5-6 ekor dan volume suara burung juga meningkat drastis. Ia juga telah menyiapkan lokasi-lokasi yang akan dibuat bangunan sederhana untuk “sekolah” tentang burung dan untuk beristirahat setelah pengamatan. Bangunan sederhana tersebut nantinya akan menyatu dengan alam (tentunya tanpa listrik dan struktur modern) serta dilengkapi dengan sajian makanan lokal Papua yang sudah pasti organik.
Tak sekadar mengembangkan potensi ekowisata bird watching di tanah kelahirannya, Pak Alex juga berjuang untuk kelestarian alam tempat tinggalnya. Lokasi Isyo Hiil’s yang saat ini dikembangkan oleh Pak Alex tersebut dimiliki oleh 1 marga/tang, yaitu Waisimon. Pak Alex telah bekerja sama dengan WWF-Indonesia dan menyerahkan tanah milik marganya seluas 19.000 hektare untuk keperluan konservasi. Dalam kegiatan syuting Kick Andy on Location di Nimbokrang, Jayapura beberapa waktu lalu, Pak Alex mengumpulkan kepala suku yang lain dan mengajak mereka untuk menyerahkan lahannya demi kepentingan konservasi. Total luas keseluruhan tanah tersebut adalah 98.000 hektare. Kesembilan kepala suku, termasuk Pak Alex, menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan harapan dan komitmen mereka untuk menyerahkan 98.000 hektare lahan demi kepentingan konservasi. Dokumen tersebut kemudian diserahkan kepada Andy Noya, pembawa acara Kick Andy, untuk disampaikan ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Tak hanya peduli dengan kelestarian alam, Pak Alex juga sangat peduli dengan warisan budaya nenek moyang di tanah kelahirannya. Perbedaan budaya dan bahasa tiap-tiap suku di Papua sangat banyak dan Pak Alex sangat menghargai hal tersebut sebagai harta peninggalan yang luar biasa. Keunikan budaya Papua adalah ceritanya yang diturunkan secara turun-temurun dari nenek moyang ke generasi berikutnya secara lisan. Karena itu, Pak Alex bercita-cita untuk mengumpulkan aneka cerita, dongeng, dan kisah supaya ada peninggalan tertulis untuk generasi mendatang. Meski lama melanglang buana ke berbagai negara, kecintaannya akan Papua sungguh luar biasa. Upayanya menjaga kelestarian alam sejalan dengan warisan budaya, “Kalau tidak ada budaya, tidak ada sejarah, tidak akan ada bangsa. Kalau tidak ada burung, tidak ada orang yang mengunjungi Nimbokrang,” ujarnya.