COKELAT TANDA CINTA DARI HUTAN PAPUA
Oleh: Andhiani M. Kumalasari (Communication, Campaign and Outreach Coordinator WWF-Indonesia Program Papua)
Panen Kakao Kerafat di Kampung Klaisu
Mengawali tahun 2017, Arkilaus Lensru dengan senyum lebar pergi menilik kabun kakaonya. Pagi itu, tepatnya 2 Januari 2017, Arkilaus siap untuk memanen kakao di kebun miliknya. Ditemani istrinya, laki-laki 56 tahun itu, memetik satu per satu buah kakao dari pohonnya.
Arkilaus merupakan salah satu petani kakao di Kampung Klaisu, Distrik Gresi Selatan, Kabupaten Jayapura, Papua. “Saya sudah menanam kakao sejak tahun 1990. Dulu ini kebun bapak saya. Kakao yang ditanam ini jenis kakao Belanda. Saya tanam di lahan seluas 1,5 hektare,” ungkap Arkilaus. Kakao Belanda merupakan nama yang tak asing bagi para petani kakao di Kabupaten Jayapura. Kakao jenis Criolo dan Forestero ini diberi nama ‘Belanda’ karena budidaya kakao ini pertama kali diperkenalkan pada masa pemerintahan Belanda di Papua. Nama lain dari kakao tersebut adalah Kakao Kerafat.
Musim panen biasanya berlangsung cukup lama, yaitu pada Desember hingga Maret. Pada masa satu kali pemanenan, Arkilaus dapat menghasilkan 2,5 ton biji kakao basah. Kakao hasil panennya kemudian diproses lebih lanjut menjadi biji kakao kering yang siap dipasarkan. Biji kakao kering milik Arkilaus mempunyai kualitas premium untuk diekspor ke pasar internasional.
Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan untuk memproses biji basah menjadi biji kering yang berkualitas bagus. Biji basah harus disimpan dalam kotak fermentasi selama tiga hari dan dipantau suhu kelembapannya. Setelah itu, biji kakao dikeringkan selama 2-3 hari. Apabila sudah kering merata, biji kakao siap dipasarkan.
Selain proses pengelolaan pasca panen, kualitas biji kakao premium juga diperoleh dari sistem pengelolaan budidayanya. Pohon kakao dibudidayakan secara organik dengan konsep wanatani (agroforestry). Pohon-pohon kakao tumbuh di antara pepohonan lainnya.
Sejak tahun 2011, WWF-Indonesia Program Papua telah memfasilitasi petani kakao untuk budidaya kakao kualitas premium yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kornelis Kindem, Community Empowerment Officer, WWF-Indonesia Program Papua menjelaskan, “WWF memfasilitasi pembentukan kelompok petani kemudian juga memberikan pelatihan tentang teknik budidaya dan pengolahan pasca panen. Selanjutnya kami akan memfasilitasi sertifikasi organik untuk standar internasional.”
Kakao Kerafat untuk Cita Rasa Cokelat Premium
Saat ini, WWF bekerja di tiga kampung di Kabupaten Jayapura, yaitu Sabeab, Aimbe, dan Klaisu untuk memfasilitasi proses budidaya dan penjualan biji kakao kering. Biji kakao dari ketiga kampung tersebut telah diekspor ke Swiss untuk bahan baku produk cokelat premium dari perusahaan cokelat Original Beans. Untuk cokelat Original Beans sendiri menjadi bahan baku pembuatan hidangan pencuci mulut di beberapa restoran di Eropa.
Pohon kakao yang dibudidayakan dengan prinsip agroforestry menjadikan hutan tetap lestari. Pohon-pohon yang tumbuh di antara pohon-pohon kakao berfungsi sebagai teduhan pohon kakao agar tidak terlalu banyak mendapat sinar matahari yang justru kurang baik untuk pertumbuhan pohon kakao. Teknik budidaya organik juga ramah terhadap lingkungan. Dengan nilai jual yang cukup tinggi, penjualan biji kakao secara langsung memberikan tambahan penghasilan bagi para petani. Upaya untuk menghasilkan biji kakao yang premium juga telah meningkatkan kemampuan para petani kakao.
Jika Anda berkesempatan berkunjung ke Belanda, silahkan mencari dan membeli cokelat Original Beans yang berbahan baku Kakao Kerafat dari hutan Papua. Bisa disimpulkan, selain menyuguhkan cita rasa yang lezat, proses budidaya kakao ini juga memberikan manfaat pelestarian hutan dan pemberdayaan masyarakat. Jadi boleh dibilang Kakao Kerafat merupakan tanda cinta dari hutan Papua.