MENDORONG TRANSISI ENERGI MELALUI PEMANFAATAN BIODIESEL YANG BERSUMBER DARI KELAPA SAWIT
Pada 7 Mei 2024 lalu berbagai peserta mulai dari instansi pemerintah, perusahaan yang bergerak di bidang sawit, mitra pembangunan (CSO’s) dan akademisi turut hadir dalam diskusi terfokus yang diselenggarakan oleh WWF Indonesia yang berkolaborasi dengan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Pembahasan utama dalam diskusi ini adalah Strategi Implementasi Transisi Energi Indonesia dengan Pemanfaatan Biodiesel yang Bersumber dari Minyak Kelapa Sawit, dan diharapkan dapat mencapai pemahaman bersama mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam upaya transisi energi.
Direktur Bioenergi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Edi Wibowo yang menjadi salah satu narasumber pada diskusi ini menyoroti pemanfaatan biodiesel di Indonesia dan perannya terhadap upaya transisi energi Indonesia. “Saat ini, pemanfaatan CPO untuk biodiesel per 2023 telah mencapai 10,6 juta ton (setara 11,7 juta kL biodiesel) dan 61% dari kapasitas terpasang” ujarnya. Seiring dengan perkembangan biodiesel, beliau menyampaikan bahwa tahun 2024 menjadi tahun yang cukup krusial sebab menjadi target tahun B35 terimplementasikan sekaligus pelaksanaan uji coba B40 (untuk non-otomotif).
Hal ini diperkuat melalui data yang dipaparkan Suwandi Winardi selaku Ketua Umum Bidang Rantai Pasok pada Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI). Produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO (Crude palm oil) Indonesia saat ini sudah mencapai 54,844 ton dengan produksi biodiesel dalam negeri menyumbang 17% dari total minyak sawit pada tahun 2022 dan 19% pada 2023. Beliau membenarkan bahwa kapasitas terpasang biodiesel terus meningkat hingga mencapai lebih dari 18,6 juta kL pada tahun 2024 seiring dengan meningkatnya konsumsi biodiesel.
Peneliti dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Gadjah Mada pada kesempatan tersebut memaparkan penelitiannya bahwa topik seputar tata kelola kebijakan, valuasi ekonomi, dan produktivitas dalam biodesel yang memanfaatkan kelapa sawit dapat didukung oleh penyempurnaan perspektif kebijakan. Para peneliti juga menyebutkan bagaimana kasus di Amerika Serikat dan Brazil yang bisa dijadikan acuan pembelajaran dimana kedua negara tersebut telah sukses mengimplementasikan biodiesel berkelanjutan melalui perhatian yang cukup untuk kesejahteraan perkebunan rakyat dan penguatan kelembagaan.
Di samping itu, peneliti dari kedua universitas ini juga memaparkan tentang pentingnya pengelolaan implementasi biofuel. Beliau percaya bahwa transparansi mengenai ketersediaan biofule yang dapat diakses oleh masyarakat sangatlah penting, dimana penerapan skema carbon tax menjadi salah satu jalan keluar dalam meminimalisir dampak eksternalitas biofuel dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Eksternalitas biofuel mencakup berbagai dampak, baik positif maupun negatif, terhadap lingkungan dan masyarakat. Meskipun biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu ketahanan energi, risiko degradasi lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan sosial tetap harus diantisipasi. Penerapan pajak karbon dapat menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif ini, mendorong penggunaan energi bersih yang lebih adil bagi masyarakat luas. Selain itu, program seperti replanting dan agroforestri yang diusulkan oleh para ahli dapat meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit sambil menjaga kelestarian hutan.
Sementara itu, untuk memaksimalkan produktivitas kehutanan, Hero Marhaento (UGM) sebagai salah satu peneliti dalam studinya memaparkan beberapa strategi kebijakan yang dapat dilakukan antara lain; akselerasi program replanting melalui inovasi bahan tanam, pendanaan, dan perbaikan pola tanam melalui sistem tanam ganda dalam bentuk agroforestri dengan strategi jangka benah.
Heru menjelaskan bahwa inovasi bahan tanam dapat meningkatkan produktivitas sawit, sementara akses pendanaan yang lebih luas sangat diperlukan agar petani kecil dapat berpartisipasi dalam replanting. Sistem tanam ganda agroforestri juga diusulkan sebagai solusi untuk meminimalkan risiko monokultur dan meningkatkan ketahanan lahan. Strategi ini memungkinkan petani menanam tanaman pendukung selain sawit, seperti tanaman pangan, yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan petani tetapi juga melindungi ekosistem sekitar.
Selain itu, perbaikan pola tanam dengan pendekatan agroforestri terbukti mampu menjaga keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan pola tanam ganda ini, program replanting diharapkan dapat memperkuat kontribusi sektor sawit terhadap transisi energi sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap hutan dan keanekaragaman hayati.
Beragam rekomendasi disampaikan oleh para peserta saat diskusi. Mereka menyoroti pentingnya kemudahan akses informasi atas energi seiring dengan penguatan kelembagaan dan kebijakan yang konsisten. Salah satu dampak nyatanya adalah hutan alam yang akan terus terjaga dengan terdukungnya program mandatori HCV serta meningkatkan larangan pembukaan hutan dan gambut di izin perkebunan sawit yang sudah ada. Di akhir acara, seluruh narasumber dan peserta memperlihatkan suatu keseragaman semangat dalam mengawal transisi energi melalui pemanfaatan sumber energi biodiesel yang optimal Di mana ini selaras dengan tujuan utama terselenggaranya diskusi ini yaitu untuk memberikan pemahaman yang bermanfaat dalam mendukung pengoptimalan transisi energi di indonesia. (SPO)