DI TELUK BINTUNI, HIU JADI UMPAN KEPITING
Oleh: Maximus Yanpapi - Enumerator Fisheries WWF SEA Project, Teluk Bintuni
Teluk Bintuni memiliki potensi sumber daya perairan yang tinggi, khususnya di bidang perikanan tangkap. Beberapa komoditas perikanan yang menjadi primadona di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat di antaranya udang, kepiting dan ikan kakap Cina atau ikan conggek dalam bahasa lokal. Di sisi lain, nelayan ikan conggek juga mendapatkan tangkapan sampingan (bycatch) berupa hiu yang diperjualbelikan siripnya dan dagingnya digunakan sebagai umpan kepiting. Muncul kekhawatiran berkurangnya populasi hiu akibat tangkapan sampingan (bycatch) jika tidak ada intervensi apapun.
WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) melakukan pendataan harian perikanan untuk memetakan kondisi perikanan tangkap di WPP-715. Berdasarkan hasil pendataan harian perikanan di Teluk Bintuni, ikan kakap Cina atau ikan conggek merupakan salah satu target tangkapan nelayan karena bernilai ekonomis tinggi. Harga ikan conggek hanya senilai Rp 30.000/kg di pasar lokal. Namun, harga gelembung renangnya dapat mencapai Rp 1.700.000/ons di tingkat pengepul lokal.
Hal ini membuat nelayan ikan conggek sangat agresif dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan tersebut. Alat tangkap yang digunakan pun dari hari ke hari mengalami evolusi. Dari awalnya hanya menggunakan pancing ulur, meningkat menjadi pancing rawai, hingga jaring insang hanyut yang digunakan oleh sebagian besar nelayan ikan conggek saat ini.
Alat tangkap jaring insang hanyut menjadi pilihan utama nelayan ikan conggek karena mampu menangkap ikan dalam jumlah besar. Pada prinsipnya, jaring insang hanyut adalah jaring insang yang dibentangkan dan dihanyutkan mengikuti arah arus dan diberikan tanda pada kedua ujung jaring. Jaring yang dihanyutkan ini membuat target penangkapan tidak maksimal karenan ikan apapun ikut tersangkut pada jaring. Sayangnya, jaring ini lebih produktif dalam menangkap ikan hiu dibanding ikan conggek.
Menurut penuturan nelayan, rata-rata sekali mengoperasikan jaring hanyut 20-30 ekor ikan hiu dapat terjerat. Ikan hiu itu dari beragam ukuran mulai 20 cm hingga 1,5 m. Jenis hiu yang dominan tertangkap pada jaring adalah hiu martil, hiu putih, dan hiu gergaji. Namun dari beberapa temuan di lapangan, jenis hiu martil (Eusphyra blochii) lebih dominan tertangkap. Spesies hiu martil tersebut merupakan salah satu spesies langka dan termasuk ke dalam kategori Terancam dalam daftar IUCN.
Hasil tangkapan hiu tidak dibuang oleh nelayan karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Nelayan memanfaatkan bagian sirip hiu untuk dikeringkan dan dijual ke pasar. Sedangkan dagingnya dijual pada nelayan kepiting sebagai umpan pada perangkap bubu. Darah hiu yang beraroma tajam dan dagingnya yang keras membuat kepiting lebih cepat merespon umpan hiu dibandingkan jenis ikan lain. Oleh karena itu, ikan hiu lebih cepat menarik perhatian kepiting masuk ke dalam bubu. Hal ini yang membuat nelayan kepiting lebih suka menggunakan daging hiu sebagai umpan pada alat tangkap bubu.
Penangkapan hiu dalam jumlah banyak jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan populasinya berkurang dan tidak menutup kemungkinan menyebabkan kepunahan ikan hiu di perairan Kabupaten Teluk Bintuni. Jika di analisa 1 nelayan sekali melaut dapat menangkap hingga 25 ekor hiu, sedangkan jumlah nelayan ikan conggek yang terdata di Kampung Nelayan Bintuni Timur ada 20 armada, maka sekitar 500 ekor hiu tertangkap setiap harinya. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa ada intervensi dari Dinas Kelautan dan Perikanan, tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait, maka hiu akan berada dalam ancaman kepunahan.