HIU DIANTARA BUDAYA DAN STATUS SOSIAL
Oleh: Dwi Aryo Tjiptohandono (Marine& Fihseries Campaign Coordinator)
Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, masih dapat kita temukan spanduk atau cuitan di sosial media yang menawarkan menu spesial imlek dengan menyajikan sirip hiu. Tak hanya di Indonesia, seluruh dunia pun beranggapan sirip hiu adalah hidangan wajib pada perayaan Tahun Baru Imlek. Dalam diskusi terbuka bertemakan Menghilangkan Hiu dari Menu yang diselenggarakan oleh WWF-Indonesia pada hari Rabu lalu (25/01), beberapa tokoh budaya dan kuliner Tionghoa mencoba menguak keeratan mengkonsumsi hiu sebagai ritual dan budaya.
Tahun Baru Imlek umumnya dirayakan dengan menyajikan hidangan yang mewakili unsur udara, darat dan air sebagai bentuk ucapan syukur dan harapan akan tahun yang lebih baik. Aji ‘Chen’ Bromokusumo, Pakar Budaya dan Kuliner dari Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia, menyatakan “Sirip hiu bukanlah suatu keharusan sama sekali sebagai ucapan rasa syukur.“ Menurutnya, unsur dari air bisa diwakili ikan jadi tidak harus sirip hiu, bisa diganti dengan bandeng yang filosofinya lebih baik dan bisa dihadirkan utuh untuk menunjukkan rasa syukur dan harapan untuk kelancaran di masa depan.
Acara diskusi terbuka yang diselenggarakan di Soehanna Hall tersebut dihadiri oleh perwakilan dari hotel, peritel, restoran, termasuk Shangri-La, Gran Melia, Santika, House of Yuen, Bandar Jakarta, dan Superindo. Perwakilan pemerintah yang juga terlibat aktif dalam diskusi, diantaranya Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, serta Dinas Kelautan, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta.
“Penyajian sirip hiu itu hanya untuk mencerminkan status sosial, harga sirip hiu yang mahal menjadi alasan mengapa menu ini tergolong mewah ketika disajikan saat Imlek,” ujar pakar kuliner William Wongso. Beliau pun menekankan bahwa sup ikan hiu tidak seenak yang dibayangkan. Rasa enak yang muncul setiap kali menyantap daging atau sirip ikan hiu berasal dari kuah kaldunya, bukan ikan hiunya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa permintaan akan sirip hiu masih terhitung tinggi di Jakarta. Beberapa pelaku usaha makanan dan perhotelan yang hadir pun menyatakan permintaan produk berbahan dasar hiu masih tinggi dan belum ada peraturan yang secara tegas melarang pemanfaatan sebagian besar jenis hiu.
Angka produksi hiu nasional antara tahun 2000 dan 2014 cenderung mengalami penurunan sebesar 28,30 persen, (DJPT, 2016). Indonesia pada tahun 2014 masih menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia. Hasil survei WWF-Indonesia menunjukkan konsumsi sirip hiu di restoran di Jakarta mengalami penurunan sekitar 20,32 persen menjadi 12.622 kg sirip hiu dalam satu tahun, dari setidaknya 15.840 kg di tahun 2014.
Alih-alih meningkatkan status sosial, Food and Drug Administration (FDA), lembaga kesehatan Amerika Serikat, justru menemukan satu dari tiga sampel hiu yang diteliti mengandung tingkat merkuri yang melebihi ambang batas aman bagi manusia. Tak pelak bahwa mengonsumsi spesies ini meningkatkan risiko keracunan logam berat yang berbahaya. Bulletin Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2009 menyatakan ikan hiu memiliki kandungan merkuri tertinggi hingga sebesar 1-4 ppm, dari batas 0.5 ppm yang masih bisa ditoleransi tubuh manusia. Kontaminan merkuri yang masuk ke dalam tubuh manusia berbahaya bagi kesehatan, karena sebagian besar akan ditimbun dalam ginjal dan dapat mengakibatkan kerusakan pada susunan saraf pusat, ginjal dan hati.
Acara diskusi tersebut diakhiri dengan penegasan kekhawatiran Bussiness Leader dan champion kampanye #SOSharks Ibu Shinta Widjaja Kamdani bahwa konsumsi sirip hiu lebih dijadikan simbol kekuatan status sosial. “Saya mulai dari rumah saya sendiri dan terapkan di usaha yang saya jalani. Ini bukan sesuatu yang memberikan kebanggaan bagi restoran untuk menyajikan sirip hiu, karena sudah banyak alternatif yang disajikan,” tegasnya.
“Nilai keberlanjutan sudah dimulai secara global, dan kita juga harus mulai memperhatikan hal ini. Usaha jasa pengangkutan bersama asosiasi hotel dan restoran harus melakukan sosialisasi tentang keseimbangan ekosistem dan ini adalah suatu momentum yang bisa kita ambil untuk sebuah gerakan nasional yang melibatkan semua pelaku usaha,” tambah Ibu Shinta.
Kecerdasan konsumen juga ditantang untuk lebih rasional dalam memenuhi selera makan, bukan sekadar unjuk kekuatan atau pencitraan. Konsumenlah yang memiliki kekuasaan terbesar untuk lebih kritis memilih dan memilah apa yang dikonsumsi sebagai cerminan jati dirinya. Dukung terus #SOSharks untuk menghentikan penjualan produk berbahan dasar hiu di pasar swalayan, toko online, hotel, dan restoran serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa.