PEREMPUAN PEMIMPIN RANOOHA RAYA
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Perjalanan tim darat menuju Desa Ranooha Raya di Kecamatan Morame, Kabupaten Konawe Selatan terbilang cukup menantang. Pagi itu, kami bersama tim penyelam diantar Simba terlebih dahulu. Tiba-tiba, menjelang sampai daratan, kami dikejutkan oleh suara mesin Simba beradu dengan karang.
“Braakkkk….” Beberapa kali Simba menghantam karang. Om Muhidin (WWF-Indonesia) sontak menghentikan laju Simba, dan Om Herman (WWF-Indonesia) mengecek keadaan mesinnya. Pak Otong (Universitas Halu Oleo) turun ke laut untuk memantau kondisi. Ternyata, surutnya air tidak memungkinkan Simba berlayar lebih jauh lagi. Warna air yang keruh membuat kami tidak sadar bahwa sepanjang ke depan, tinggal karang dan pasir saja.
Sementara Simba memutar, kami juga memutar otak. Akhirnya, kami terselamatkan sampan kecil nelayan tua yang sedang memperbaiki kapalnya. Dalam dua kali bolak-balik, saya, Yulius (WWF-Indonesia) bersama Sasi dan Bu Ira (Universitas Halu Oleo), pun duduk menekuk dalam kole-kole (sampan) sambil berdoa agar tidak terbalik.
Papan larangan penambangan pasir laut dan terumbu karang menyambut kami di dermaga kayu Desa Ranooha Raya. Suasana desa terbilang sepi. Selain rumah-rumah panggung, rumah warga berjarak cukup jauh satu sama lain. Perbukitan tampak menjulang di sisi lain desa ini, disebut Gunung Kuni-kuni oleh masyarakat desa. Perjalanan darat dari desa ini menuju Kendari bisa ditempuh dalam kurang dari dua jam.
Uniknya, tidak seperti desa lain yang kami datangi, Ranooha Raya adalah satu-satunya desa yang dipimpin oleh perempuan. Hasnawati, kepala desa ini, adalah sosok ibu dengan enam anak.
“Ranooha dalam bahasa Tolaki artinya kubangan kerbau,” kisahnya, menjawab keingintahuan saya. Katanya sejak dulu, memang banyak kerbau di desa ini. Saya sendiri menjumpai beberapa kawanan kerbau dalam perjalanan menuju rumah Ibu Hasnawati, yang memang terletak agak jauh dari kumpulan rumah panggung nelayan.
Usia desa ini masih muda. Dinyatakan resmi sebagai desa secara definitif, baru tahun 2007. Selama empat tahun sebelumnya, Ranooha Raya berstatus desa persiapan dengan nama Mario Raya, yang artinya gembira.
“Sejak 2003, desa ini masih terus saja menjadi desa persiapan. Kasihan warga yang untuk bantuan masih harus mengandalkan desa induk,” tutur Ibu Hasnawati. “Karena tidak akan bisa menjadi desa baru dengan nama Mario Raya, tahun 2007, saya cap saja stempel pertama dengan nama Ranooha Raya,” lanjutnya sambil tertawa.
Empat tahun kemudian, ibu yang aktif dalam persiapan desa kala itu, terpilih menjadi kepala desa, mengalahkan dua kandidat laki-laki lainnya dalam pemilihan suara.
“Menjelang pemilihan tahun 2011 itu, saya sedang hamil tua. Seminggu sebelum pemilihan, anak keenam ini lahir.” katanya. Anak bungsunya, dinamakan Ripna Cahaya Anugrah, dari tadi mondar-mandir di ruang tamu tempat kami mengobrol. Mencomot otek-otek (bakwan) yang disajikan di meja dengan sambal colo-colo.
Saya sih tidak terbayang, bagaimana harus mengurus desa di saat saya juga harus mengurus bayi usia seminggu. Tapi ternyata perempuan ini bisa, dibantu oleh kakak dan suaminya yang guru Penjaskes di SD sebelah. Perempuan ini tidak terlampau banyak bicara, tapi ternyata sosok bersahajanya menjadi penting untuk tiga dusun Ranooha Raya – sekitar 700 jiwa di sana.
Hari itu ia sambil bercerita pada saya tentang kejayaan budidaya rumput laut di desanya, yang beberapa tahun terakhir padam karena hama. Sebagai salah satu orang yang mengenalkan rumput laut – yang pada masanya membuat nelayan meraup sampai sepuluh juta per bulannya – ia mengungkapkan harapannya agar kesejahteraan itu kembali, entah bagaimana caranya.