JAMBORE DESA: BERBAGI PEMBELAJARAN UNTUK PENGELOLAAN HUTAN DAN DESA BERKELANJUTAN
Bertempat di Gedung Indoor Volley, Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 22-23 Juni 2025, WWF-Indonesia dengan dukungan dari Pemerintah Daerah Kapuas Hulu menginisiasi Jambore Desa. Jambore Desa merupakan bentuk apresiasi atas perjalanan kolaboratif serta untuk mempererat jejaring, dan pertukaran pengetahuan antar desa, serta sebagai momen reflektif, inspiratif dan perayaan atas capaian bersama.
Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan masyarakat yag terlibat dalam upaya pengelolaan wilayah berkelanjutan yaitu Desa Bahenap, Kensuray, Rantau Kalis, Nanga Danau, Menua Sadap dan Labian sebagai desa dampingan WWF. Hadir pula sejumlah 16 Desa yang berada di 3 kecamatan tempat desa dampingan WWF berada. Dalam suasana penuh semangat dan kebersamaan, mereka saling berdiskusi dan berbagi pengalaman tentang praktik baik dalam pengelolaan pemanfaatan hutan. yang tersebar di tiga kecamatan di Kapuas Hulu, yaitu Kecamatan Kalis, Embaloh Hulu, dan Batang Lupar. Selain itu, hadir pula perwakilan dari pemerintah daerah, termasuk Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Kapuas Hulu, BAPPEDA, Tenaga Ahli P3MD, serta Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (BBTNBKDS). Tidak ketinggalan, sejumlah perwakilan dari organisasi masyarakat sipil (CSO) yang ada di Kapuas Hulu turut berpartisipasi, memperkaya jalannya kegiatan dengan perspektif dan dukungan lintas sektor.
Acara Jambore Desa diawali dengan pengantar dari Project Leader Kapuas Hulu, Hermas Rintik Maring, yang menyampaikan bahwa kegiatan ini dirancang sebagai ruang bersama untuk berdiskusi dan saling berbagi pembelajaran antar desa. Tujuannya adalah agar pengalaman dan praktik baik yang telah terbukti berhasil dapat direplikasi di desa masing-masing, sebagai langkah nyata menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya, acara secara resmi dibuka oleh PLT Asisten III, Muhammad Nazzarudin, SKM., MPH. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan apresiasi kepada WWF atas inisiatif dan program-program yang telah mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Ia juga menyoroti tantangan perubahan iklim yang kini dihadapi banyak desa, terutama yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perkebunan. Salah satu upaya adaptasi yang diapresiasi adalah pengenalan praktik pertanian cerdas iklim, yang diperkenalkan melalui pendampingan WWF. Pendekatan ini tidak hanya membantu masyarakat meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mengajarkan cara menjaga, merawat, dan memanfaatkan wilayah secara berkelanjutan.
Rangkaian kegiatan Jambore Desa terbagi dalam dua sesi berbagi pembelajaran yang sarat inspirasi. Sesi pertama dipandu oleh Samuel Moring dari Green Leadership Community, dengan tiga topik utama. Topik pertama membahas restorasi wilayah adat, yang disampaikan oleh Moses Bungkong dari Dusun Sadap dan Nopi Irwandi Lagi dari Dusun Kelayam. Topik kedua mengenai pemanfaatan jasa lingkungan diangkat melalui pengalaman Hendrikus, Kepala Desa Labian, serta Robertus Tutong, perwakilan masyarakat adat dari Menua Ngaung Keruh. Adapun topik ketiga membahas tataguna lahan desa, yang dipaparkan oleh Onyang, perwakilan dari pemerintah desa sekaligus masyarakat adat Desa Rantau Kalis.
Memasuki sesi kedua, acara dipandu oleh Kornelia Bernadecta Lie, Supporting Staff Community Development WWF-Indonesia proyek Kapuas Hulu, dengan tiga topik lanjutan yang tak kalah penting. Diskusi pertama mengangkat pertanian cerdas iklim, disampaikan oleh Andriana Sonai dari Kelompok Tani Usaha Maju 1 Nanga Danau. Kemudian dilanjutkan dengan topik pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh Stevanus Suka, Ketua Tim Pengolah Manisan Salak. Terakhir, sesi ditutup dengan pembahasan mengenai pengelolaan BUMDes, yang disampaikan oleh Anastasia Juli, Ketua BUMDes Lupung Betuah Kensuray. Seluruh sesi berlangsung dengan penuh semangat berbagi, menunjukkan potret keberagaman dan kekayaan praktik baik di tingkat desa.
Sejak tahun 2022 hingga 2025, sejumlah desa di Kapuas Hulu telah memulai dan terus melanjutkan upaya pemanfaatan serta pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan melalui pengusulan legalitas hutan lestari dengan skema Wilayah dan Hutan Adat. Hingga saat ini, empat wilayah adat—Nanga Tubuk, Nanga Danau, Rantau Kalis, dan Kelayam—telah berhasil memperoleh pengakuan legal dengan total luasan mencapai sekitar 8.671,448 hektare. Proses legalisasi ini terlaksana berkat dukungan teknis dari WWF-Indonesia dan kolaborasi erat bersama anggota Forum Masyarakat Sipil (CSO) di Kapuas Hulu.
Setelah memperoleh legalitas, masyarakat juga menyusun rencana kelola wilayah adat yang menjadi pedoman dalam mewujudkan pengelolaan yang lestari dan terarah. Di tingkat desa, upaya ini diperluas melalui proses identifikasi dan penataan tata guna lahan secara partisipatif, agar rencana pembangunan lebih selaras dengan kondisi dan potensi lokal. Enam desa—Bahenap, Kensuray, Rantau Kalis, Nanga Danau, Nanga Tubuk, dan Menua Sadap—telah menyusun tata guna lahan secara detail, yang kini menjadi salah satu referensi utama dalam pengembangan rencana pembangunan desa ke depan.
Tidak hanya berhenti pada tahap perencanaan, beberapa komunitas masyarakat adat juga telah secara teknis menjalankan upaya nyata dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara lestari. Salah satu bentuknya adalah kegiatan restorasi hutan yang mencakup perlindungan serta rehabilitasi kawasan-kawasan kritis. Kegiatan ini dilakukan di beberapa lokasi, seperti Dusun Kelayam dan Dusun Sadap di Desa Menua Sadap, serta Dusun Ngaung Keruh di Desa Labian. Ketiga lokasi tersebut berada dalam kawasan Koridor Labian–Leboyan, yang berdasarkan Peraturan Daerah Kalimantan Barat No. 8 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2024–2043, telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi karena peran pentingnya dalam mendukung fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.Dalam kerangka upaya restorasi ini, masyarakat berhasil memproteksi kawasan seluas total 6.739,94 hektare. Dari luasan tersebut, sekitar 394,87 hektare telah direhabilitasi melalui kegiatan penanaman kembali, menunjukkan komitmen kuat komunitas lokal dalam menjaga dan memulihkan ekosistem hutan secara berkelanjutan.
Beragam upaya terus dilakukan oleh masyarakat desa dalam mendorong pembangunan berkelanjutan. Salah satunya melalui pengembangan pertanian cerdas iklim, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti salak hutan yang kini diolah menjadi manisan, serta perlindungan kawasan sumber air bersih. Inovasi juga terlihat dalam pengolahan produk hortikultura menjadi berbagai produk turunan, seperti minuman serbuk jahe dan kunyit, manisan jahe, hingga serbuk cabai. Untuk mendukung keberlanjutan ekonomi, desa-desa turut memperkuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai lembaga usaha berbadan hukum (terdaftar di Kemenkumham), yang tak hanya memfasilitasi pemasaran produk, tetapi juga membuka akses ke sumber permodalan, legalitas, dan program-program peningkatan kapasitas. Hingga saat ini, empat BUMDes telah mulai beroperasi dan delapan komoditas usaha berkelanjutan berhasil dikembangkan di empat desa.
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Jambore Desa, digelar pula pameran lokal yang menampilkan praktik-praktik pertanian cerdas iklim, seperti sistem vertigasi kapiler serta penggunaan pupuk dan pestisida organik. Inovasi-inovasi ini telah dikembangkan melalui serangkaian pelatihan dan demonstrasi plot di Desa Kensuray, Rantau Kalis, dan Nanga Danau. Selain itu, pameran juga menyajikan produk-produk turunan dari komoditas unggulan desa. Tidak kalah penting, panggung kreatif disediakan sebagai ruang ekspresi bagi anak-anak muda Kapuas Hulu untuk menunjukkan bakat seni mereka, sekaligus melibatkan mereka dalam kampanye lingkungan secara aktif.
Melalui Jambore ini, diharapkan tumbuh semangat kolektif lintas desa untuk terus melanjutkan inisiatif-inisiatif baik, baik secara mandiri maupun melalui jejaring. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga memperkuat solidaritas antar desa dan menjadi titik tolak untuk memperluas gerakan dari akar rumput demi menjaga bumi dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.