LANGKAH AWAL KUATKAN PERENCANAAN SPASIAL UNTUK DESAIN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
Penulis: Christian Handayani (Marine Spatial Planning and Monitoring Senior Officer, WWF-Indonesia)
Banyaknya kota dan desa di Indonesia yang terletak di kawasan pesisir, menjadikannya lokasi strategis sebagai pusat pembangunan dan kegiatan pemanfaatan sumber daya laut. Pengaturan alokasi ruang di wilayah pesisir dan laut yang mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan pun mutlak diperlukan. Hal ini penting untuk memastikan tekanan lingkungan yang terjadi dapat dikontrol tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir.
Salah satu kunci keberhasilan dari perencanaan spasial laut adalah memastikan tersedianya alokasi kawasan lindung yang efektif. Kawasan lindung, yang disebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP), berfungsi untuk melindungi habitat pesisir utama dan keanekaragaman hayati laut. Tak hanya itu, KKP juga menjadi sumber larva dan stok ikan untuk kawasan di sekitarnya.
Saat ini, KemenKP sedang bergiat membentuk 2,7 juta hektar KKP baru di Indonesia agar target 20 juta hektar KKP pada tahun 2020 tercapai. Dibutuhkan banyak tenaga ahli dan ilmu pengetahuan terbaru untuk mendesain KKP di Indonesia. Tentunya, agar dapat memberikan manfaat perlindungan untuk keanekaragaman hayati laut dan manfaat perikanan berkelanjutan.
Melihat kesempatan ini, WWF-Indonesia bekerja sama dengan University of Queensland mengadakan pelatihan dengan tema “Spatial Planning for Marine Protected Area Design in Indonesia: Challenges and Opportunities to Improvement”, di Bali, 14-21 September 2016 lalu.
Tujuan dari pelatihan ini adalah meningkatkan kapasitas peserta dalam mendesain KKP di Indonesia yang lebih optimal berdasarkan ilmu pengetahuan terbaru. Dalam pelatihan ini, WWF-Indonesia memperkenalkan beberapa pemodelan mengenai konektivitas larva ikan dan ukuran zona inti.
Pemodelan ini akan menjawab dua pertanyaan kunci dalam mendesain KKP. Pertama, dimana lokasi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan zona inti terbaik yang dapat mendukung keanekaragaman hayati,, perikanan berkelanjutan, atau keduanya Kedua, berapa luasan minimal zona inti agar KKP berfungsi optimal? Pemodelan ini merupakan pemodelan pertama di Indonesia yang sangat mudah digunakan oleh berbagai kalangan, dan dapat disesuaikan dengan target pengelolaan KKP yang beragam.
Kegiatan pelatihan melibatkan beberapa pelatih dunia terkemuka, yaitu Prof. Peter Mumby (ahli ekologi terumbu karang, perikanan, dan remote sensing); Prof. Hugh Possingham (ahli teori pengambilan keputusan dalam konservasi biologi serta ide di balik pengembangan Marxan); Dr. Nils Krueck (ahli dinamika populasi perikanan dan genetika); dan Dr. Eric Treml (ahli pemodelan konektivitas larva global).
Kegiatan ini dihadiri oleh 35 orang peserta yang merupakan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta (Direktorat PRL dan KKHL), BPSPL Makassar, BPSPL Denpasar, DKP Selayar, Universitas Hasanudin Makassar, Universitas Halu Oleo Kendari, Universitas Pattimura Ambon, Universitas Papua Manokwari, Universitas Khairun Ternate, TNC, CI, CTC, WCS, Yayasan Reef Check Indonesia, Yayasan TERANGI, dan WWF-Indonesia. Metode pembelajaran yang digunakan dalam workshop ini adalah kuliah umum dipadukan dengan diskusi dan praktek dalam kelompok.
Selama delapan hari pelatihan, seluruh peserta belajar dan membahas mengenai strategi dalam mengoptimalkan desain KKP dengan mengintegrasikan pemodelan konektivitas larva. Tujuannya, agar KKP bisa memberikan manfaat bagi perikanan berkelanjutan dalam jangka panjang. Mereka juga belajar bagaimana mengambil keputusan terkait perencanaan spasial laut secara terstruktur.
Tak hanya itu, para peserta dalam kelompok juga mempraktekkan berbagai latihan pemodelan dan penggunaan perangkat lunak Marxan dan Zonae Cogito, serta mendiskusikan berbagai studi kasus. Antusiasme peserta dalam menyerap ilmu baru dalam pelatihan ini patut diacungi jempol. Setelah ini, tentunya, dinantikan komitmen selanjutnya untuk desain KKP yang lebih baik di Indonesia.