MAHWEL, PEMUDA DESA TANJUNG BELIT YANG MENJAGA SUNGAI DAN HUTANNYA
Oleh: Rafselia Novalina & Natalia Trita Agnika
Mahwel, seorang pemuda ramah dan penuh semangat dari Desa Tanjung Belit, Kec. Kampar Kiri Hulu, Kab. Kampar, Provinsi Riau, merasa sedih melihat Sungai Subayang yang dulunya jernih sekarang menjadi keruh dan kotor. Desa tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Bentang Alam Rimbang Baling yang merupakan salah satu kantung habitat harimau Sumatera di Provinsi Riau dan dilewati oleh Sungai Subayang.
Sungai tersebut merupakan sungai yang penting bagi penduduk desanya. Sehari-hari, mereka memanfaatkan Sungai Subayang untuk kegiatan transportasi, mencari ikan, MCK (mandi, cuci, kakus), serta aktivitas domestik lainnya. Kondisi Sungai Subayang yang keruh dan kotor itu diakibatkan aktivitas manusia yang tidak terkendali. Sebut saja transportasi kayu melalui sungai, penggunaan bahan kimia di sungai, dan pertambangan di hulu sungai.
Aktivitas yang tak bertanggung jawab itu juga membuat hutan di dekat tempat tinggal Mahwel menjadi menipis karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan penebangan pohon di hutan. Padahal, hutan juga menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan hasil hutan seperti perkebunan karet, resan, rotan, kayu, madu, dan lainnya.
Melihat kondisi alam yang makin memprihatinkan itu, Mahwel tergerak untuk melakukan aksi nyata mengembalikan kelestarian alam desanya. Bersama WWF-Indonesia Program Central Sumatera bekerja sama dengan Yapeka (Yayasan Pendidikan Konservasi) dan Indecon (Indonesian Ecotourism Network), Mahwel ikut melakukan kegiatan konservasi melalui pengembangan ekowisata, membangun biogas, melakukan pertanian organik, membangkitkan semangat ibu-ibu di desanya membuat kerajinan tangan dari sampah, dan membangun perpustakaan keliling untuk anak-anak. Halaman rumahnya menjadi salah satu contoh kebun organik yang sudah membuahkan hasil. “Dulu hanya orang desa sini yang membeli hasil kebun ini. Sekarang sudah ada pesanan dari desa lain,” terang Mahwel sambil tersenyum gembira.
Awalnya, Mahwel tidak mendapatkan respon yang baik dari masyarakat desanya dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut. Masyarakat desanya melihat bahwa semua kegiatan yang dilakukan oleh Mahwel tidak akan memberikan manfaat banyak bagi perekonomian mereka, sungai mereka masih kotor dan pembukaan lahan masih akan berlanjut.
Tak hilang akal, Mahwel melakukan pendekatan sesuai usianya. Ia mendekati anak-anak muda untuk membangun ekowisata Air Terjun Batu Dinding di desanya. Ekowisata tersebut dalam waktu kurang dari setahun mulai dikenal oleh banyak orang di luar desa. Pengurus desa melihat potensi tersebut bisa menjadi alternatif pendapatan ekonomi bagi masyarakatnya, sehingga desa membentuk Ikatan Pemuda Ekowisata di desa tersebut untuk mengelola ekowisata air terjun. Destinasi wisata baru di desa ini juga dikunjungi oleh wisatawan asing yang melakukan wisata minat khusus serta mahasiswa dan peneliti yang melakukan penelitian keanekaragaman hayati untuk sungai dan hutan di desanya.
Semangat dan antusiasme Mahwel demi kelestarian alam dan kemajuan desanya sangat luar biasa. Ia bahkan memperkenalkan sebuah kearifan lokal yang sudah dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyangnya, sebuah aturan untuk menjaga keseimbangan ekosistem sungai di desanya. Tradisi itu dikenal dengan nama “Lubuk Larangan”
Lubuk Larangan adalah area sungai dengan batas-batas tertentu yang ditetapkan oleh tetua adat setempat. Wilayah perairan tersebut dikelola untuk memelihara ikan. Pemanfaatan sumber daya yang tersimpan di Lubuk Larangan hanya boleh dilakukan pada waktu yang telah disepakati bersama, misalnya dalam dua kali setahun, yaitu saat puncak kemarau dan menjelang Idul Fitri. Hukum adat melarang keras pengambilan ikan di Lubuk Larangan di luar waktu yang ditentukan. Para pelanggar akan mendapatkan sanksi yang ditetapkan para tetua adat.
Setiap wisatawan atau orang luar yang berkunjung ke desanya diperkenalkan pada tradisi Lubuk Larangan. “Lubuk larangan adalah budaya kami dalam menjaga sungai serta hutan tempat harimau dan satwa lain yang ada di dalamnya. Kalau hutan kami rusak, maka sungai kami juga rusak. Lubuk larangan adalah pengikat dan penanda bagi masyarakat bahwa hutan kami masih bagus. Tidak ada yang bisa memisahkan kami dengan hutan dan sungai,” ujar Mahwel.
Kedatangan orang-orang ke desanya untuk melihat Lubuk Larangan merupakan pengingat bagi Mahwel dan warga desanya bahwa mereka masih punya hutan dan sungai yang dijaga dengan baik. Mahwel dan masyarakat di Desa Tanjung Belit tidak menyerah terhadap kerusakan sungai dan hutannya. Mereka yakin, hutan dan sungainya masih bisa diselamatkan.
Optimisme mereka ditunjukkan dengan lancarnya mereka menyebutkan jenis ikan yang diperoleh di Lubuk Larangan. “Ikan belida, kapiek, baung, tobang, tapa, dan alan lelan,” jawab anak-anak usia sekolah dasar yang sedang bermain di Sungai Subayang ketika ditanya jenis-jenis ikan yang ada di Lubuk Larangan. Supaya kearifan lokal itu tetap kekal, Mahwel juga mengenalkan tradisi Lubuk Larangan ke masyarakat dengan memproduksi kaus yang bertuliskan, “my trip mancokou ikan di Tanjung Belit.” Mancouku ikan berarti lubuk larangan.