MEMBANGUN CO-MANAGEMENT PROGRAM PERBAIKAN PERIKANAN SKALA KECIL DI MALUKU TENGGARA
Penulis: Faridz Rizal Fachri (Fisheries Business Officer), Irvan Ahmad Fikri (Fisheries Science Officer), dan Rizal (Community Right Based Management Officer) Inner Banda Arc Subseascape (IBAS) Program, WWF-Indonesia
Sumber daya perikanan dan kelautan adalah salah satu leading sector pendapatan daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Pelaksanaan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan menjadi urgensi mengingat kondisi sumber daya yang terus tertekan akibat eksplorasi yang tak terkendali. Suatu komitmen kolaborasi telah dijalin antara masyarakat sebagai pengguna dan pemilik sumber daya; perangkat desa; WWF-Indonesia, serta pemerintah daerah untuk mendukung adanya pengelolaan perikanan yang baik pada Kawasan Konservasi Perairan dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kabupaten Maluku Tenggara yang tertuang dalam Kepmen KP No. 06 tahun 2016 melalui program perbaikan perikanan tangkap (Fisheries Improvement Program/FIP) dan perikanan budidaya (Aquaculture Improvement Program/AIP). Komitmen ini diawali dengan kesepakatan bersama melalui pengukuhan kelompok masyarakat dalam pemanfaatan komoditas rumput laut kotoni dan kepiting bakau yang dilaksanakan di Pulau Nai, salah satu pulau dari gugus Kepulauan Kei Kecil di Kabupaten Maluku Tenggara, pada tanggal 28 April 2016 lalu.
FIP dan AIP Sebagai Ujung Tombak Program Perbaikan Perikanan
FIP dan AIP merupakan salah satu skema program perbaikan perikanan yang dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat menuju pemanfaatan yang lebih lestari dan berkelanjutan. Pelaksanaan FIP dan AIP dalam lingkup kerja WWF-Indonesia Program Inner Banda Arc Subseascape (IBAS) berfokus pada aktivitas perikanan skala kecil sesuai dengan pemanfaatan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara yang didominasi oleh nelayan artisanal dan subsisten (nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan/konsumsi sendiri, bukan untuk dijual). Program FIP dan AIP dilaksanakan sesuai dengan indikator yang memerlukan perbaikan setelah dilakukan penilaian awal yang mengacu pada standar Marine Stewardship Council (MSC) - lihat https://www.msc.org/ -, Aquaculture Stewardship Council (ASC) – lihat http://www.asc-aqua.org/ -, dan Better Management Practices (BMP) dari WWF-Indonesia.
Selain itu, transfer substansi FIP dan AIP juag menjadi hal yang menantang untuk dilakukan dengan cara yang mudah dipahami dan diimplementasikan oleh kelompok mitra. Aspek manfaat yang didapatkan oleh kelompok sebagai salah satu indikator keterukuran keberhasilan program menjadi perhatian tersendiri. Salah satu caranya adalah dengan memfasilitasi pengembangan bisnis semaksimal mungkin dengan tetap menjaga kondisi sumber daya agar terus berkelanjutan.
Pentingnya Co-Management dalam Implementasi Praktik FIP dan AIP
Keberhasilan program FIP dan AIP tak serta merta dapat dicapai tanpa adanya dukungan dari beberapa pihak sebagai bentuk co-management. Kelompok dampingan WWF-Indonesia untuk komoditas kepiting bakau di Ohoi (bahasa setempat untuk desa) Evu dan rumput laut di Pulau Hoat-Nai, Ohoi Debut menjadi mitra utama karena memiliki peran yang besar terhadap akses pemanfaatan sebagai pemilik sumber daya. Kolaborasi antara kelompok, pihak desa, akademisi, WWF-Indonesia, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K), serta Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tenggara sangat dibutuhkan agar FIP dan AIP berjalan lancar. Salah satu contohnya adalah sumbangsih akademisi terkait kajian status sumber daya yang ada. Begitupun dengan keberadaan Learning Center EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Managament) yang tentunya sangat potensial dalam memberikan edukasi kepada pelaksana FIP dan AIP.
Koordinasi yang telah terbangun menghasilkan respon tindak lanjut yang baik antarpihak, sehingga dapat menutup celah terjadinya tumpang tindih program antarlembaga. Penyusunan skema pendampingan dan program untuk kelompok dampingan juga diagendakan untuk disusun secara bersama-sama mengacu pada rencana kerja satu tahun FIP dan AIP. Model ini diharapkan dapat menjadi percontohan terhadap pemenuhan standardisasi ecolabel, terutama bagi masyarakat perikanan skala kecil di negara berkembang yang baru menyumbang sekitar 8% dari total produk di dunia yang tersertifikasi MSC (Blackmore et al., 2015). Sebagai negara dengan sumber daya laut yang tersohor, sayangnya nama Indonesia belum berhasil masuk sebagai negara yang memiliki komoditas perikanan tersertifikasi MSC.
Ayo, dukung program perbaikan perikanan di Indonesia!