MEMETAKAN SOLUSI BAGI PERBAIKAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WAKATOBI
Oleh: Idham Malik (Aquaculture Staff, WWF-Indonesia)
Baca Sebelumnya: Studi Kualitas Air Ungkap Penyebab Paceklik Rumput Laut Kotoni di Wakatobi
“Langkah yang harus ditempuh adalah dengan mempertahankan budi daya yang ada sekarang, yaitu jenis spinosum. Standar nitrat dan phospat spinosum sangat rendah, sehingga bisa hidup dalam kondisi miskin unsur hara sekali pun,” ungkap Dr. Ir. Nursidi latief, M. Si., dari Politani Pangkep, dalam Seminar Sosialisasi Hasil Pendataan Kualitas Air Kawasan Budidaya Rumput Laut Wakatobi di Hotel Wakatobi (29/08/2018) di Wanci, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seminar ini mengungkap apa penyebab matinya budi daya kotoni di Wakatobi, dan mencoba menggali solusi atasnya.
“Namun, harus diperhatikan pula bahwa spinosum ibaratnya seperti ubi kayu di darat. Cepat tumbuh, tapi cukup rakus merebut unsur hara di perairan. Makanya, kita perlu antisipasi kemungkinan menurunnya kandungan hara di perairan dengan semakin masifnya budi daya rumput laut di perairan,” lanjut ia di hadapan para pembudidaya.
Sedangkan budi daya kotoni hanya bisa dilakukan pada musim hujan, ketika kandungan nitrat cukup terpenuhi, serta pada lokasi yang dekat dengan pemukiman, dengan asumsi lebih kaya nutrien. Namun, dengan menghadapi persoalan utama, yaitu sulitnya keberlanjutan bibit pada musim kemarau.
Hal kedua yang harus dipikirkan bersama – sama, yaitu metodologi untuk memperkaya kembali unsur hara yang ada di perairan budidaya rumput laut. Hal ini bisa didiskusikan dengan instansi lain, seperti Dinas Pertanian maupun Dinas Peternakan, untuk membuat perencanaan bersama. pengembangan pertanian dekat dengan kawasan budi daya rumput laut, agar ada suplai bahan organik dari daratan, yang terbawa oleh hujan.
Kilas Balik Perbaikan Budi Daya Rumput Laut di Wakatobi
Sejak 2015, WWF-ID program Southern Eastern Sulawesi Subseascape (SESS) bersama program akuakultur WWF-Indonesia mulai terlibat untuk perbaikan budi daya rumput laut di Wakatobi. Ditemukan tiga kelompok yang potensi untuk diajak kerja sama untuk perbaikan budidaya, yaitu Lagundi di Desa Liya Mawi Pulau Wanci, Sarope di Desa Ollo Selatan dan Dewara di Desa Derawa di Pulau Kaledupa.
Dilakukanlah pendekatan awal dengan Focus Group Discussion (FGD) bersama tim Training and Science WWF-ID dengan petambak ketiga kelompok untuk menggali persoalan dan solusi sementara untuk perbaikan budidaya di Wakatobi. Di samping itu, dilakukan pendataan gap assessment atau tingkat kesenjangan dengan BMP Budidaya Rumput Laut WWF-ID.
Hasil dari FGD tersebut yaitu disepakatinya penerapan budidaya kotoni menggunakan bibit kultur jaringan, untuk penguatan kebun bibit kelompok. Setelah pelaksanaan FGD waktu itu, Desember 2015, juga dilakukan uji coba budidaya kotoni dengan menggunakan bibit lokal.
Karena itu, beberapa bulan setelahnya, pada pertengahan 2016, dilakukan uji coba budi daya rumput laut menggunakan bibit kultur jaringan yang berasal dari BBPBAL (Balai Besar Perikanan Budidaya Air Laut) Lampung pada tiga kawasan budi daya, yaitu di perairan Desa Liya Mawi Pulau Wanci, perairan Desa Ollo Selatan Kaledupa, perairan Desa Derawa Kaledupa.
Namun, perkembangan bibit kotoni dari Lampung tidak berkembang baik, usianya hanya sekitar 3 – 4 siklus saja. Kendala yang dihadapi, di perairan Liya dan Ollo Selatan yaitu bibit diserang hama bulu kucing, yaitu bulu – bulu halus yang menempel pada batang thallus rumput laut. Cukup mengherankan, sebab, hanya kotoni yang terserang bulu kucing, rumput laut jenis spinosum tidak terserang dan tetap tumbuh dengan baik.
Melihat kondisi tersebut, membuat tim WWF-ID mulai kehabisan akal, dan lebih memilih untuk pengembangan kelompok dan peluang pasar. Intervensi lebih banyak pada bagaimana membuka wawasan anggota kelompok, untuk lebih mengoptimalkan kerjasama antara pembudidaya untuk menggalang kekuatan ekonomi bersama. Saat itu, sempat sekali didatangkan pengusaha dari Makassar untuk menjelaskan lebih dalam tentang konsep OVOP (One Village One Product), memotivasi kelompok untuk fokus untuk pengembangan produk.
Alternatif Bagi Budi Daya Rumput Laut Kotoni Hari Ini
Alternatif lain yang ditawarkan, yaitu penerapan budi daya Gracilaria gigas, namun hal ini harus terlebih dahulu dilakukan penelitian secara intensif untuk memastikan keberhasilan budidaya Gracilaria gigas.
Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai daya dukung lingkungan atau carrying capacity untuk budi daya spinosum di Wakatobi. Agar pembudidaya memahami sejauh mana budi daya spinosum dengan produksi terbaik dapat dikembangkan secara berkelanjutan di Wakatobi.
Seminar Sosialisasi Hasil Pendataan Kualitas Air Kawasan Budidaya Rumput Laut Wakatobi ditutup dengan tanda tanya, bagaimanakah nasib budi daya spinosum kelak? Apakah akan senasib dengan kotoni? Hal ini menjadi beban pikir pembudidaya dan pemerintah setempat. Pertanyaan itu pula yang kemungkinan akan mendorong mereka untuk mengevaluasi praktek budi daya spinosum selama ini.