MENJAGA SALAWAKU, PENYU BELIMBING PULAU BURU
Oleh: Syarif Yulius Hadinata (Marine Species Assistant, WWF-Indonesia Inner Banda Arc Sub-seascape)
Pulau Buru adalah pulau terbesar ketiga di Kepulauan Maluku, dengan luas 8.473,2 km² dan panjang garis pantai 427,2 km. Kekayaan alam Pulau Buru tidak kalah dengan Pulau Halmahera di Maluku Utara dan Pulau Seram di Maluku Tengah, dua pulau terbesar di kepulauan rempah-rempah ini. Pesisir utara Pulau Buru adalah lokasi peneluran penyu belimbing (Dermochelys coriacea), biota Endangered, Threatened, and Protected (ETP) dunia.
Masyarakat Maluku menyebut penyu belimbing dengan nama salawaku. Tak hanya di Pulau Buru, Pulau Seram juga mengenal penyu belimbing dengan nama yang sama. Salawaku berasal dari nama sebuah pohon besar, sesuai dengan ukuran tubuh penyu belimbing, yang terbesar di antara spesies penyu lain. Selain itu, salawaku juga merupakan perisai, senjata tradisional yang digunakan Kapitan Pattimura dalam pertempuran melawan penjajah.
Pada 6-15 Desember 2016 lalu, melalui survei perspektif masyarakat terhadap spesies penting, kami mewawancarai 23 informan kunci dan melakukan sigi (survei) ekstensif di pantai peneluran penyu. Yaitu, di sepanjang garis pantai yang membentang di Desa Waprea, Waeputih, Waenibe, Waspait, dan Wamlana, pesisir Utara Pulau Buru.
Pada pesisir sepanjang 13,7 km inilah, kami menemukan 85 jejak dan sarang penyu. Tak hanya itu, kami juga menemukan bahwa kemunculan penyu belimbing masih begitu ditunggu - untuk diburu. Potensi pantai peneluran penyu di utara pulau ini membentang dari Desa Waeura, Kecamatan Waplau; hingga Desa Air Buaya, Kecamatan Air Buaya.
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepidochelys oliviacae) datang bertelur di Desa Waeura hingga ke Desa Waprea, Kecamatan Waplau. Sementara garis pantai Desa Weputih, Kecamatan Waplau hingga Desa Air Buaya kerap disinggahi penyu belimbing dan penyu lekang.
Pesisir dengan intensitas persinggahan peneluruan penyu belimbing tertinggi adalah Desa Waspait, Waenibe, dan Wamlana, dengan garis pantai sepanjang 6,5 km. Musim peneluran salawaku adalah pada bulan November hingga Maret. Dini hari itu (12/12/2016), hampir pukul setengah dua pagi, pertama kalinya saya bertemu penyu belimbing. Salawaku menyambangi pasir hitam Desa Waspait, Kecamatan Fena Leisela.
Sampai menjelang setengah empat pagi, salawaku dengan panjang dan lebar lengkung karapas 152 cm dan 105 cm ini meneluri pantai dengan lebar rata-rata 24 meter. Dari jarak yang cukup dekat, saya dapat melihat lubang berdiameter 3 cm di sirip kiri belakangnya.
Saat ini, memang, perburuan penyu masih menjadi rutinitas bagi masyarakat Pulau Buru. Sebagian warga masih membaur ke pantai pada musim peneluran untuk mengambil telur atau daging penyu untuk dikonsumsi bahkan dijual lagi.
Namun, langkah awal menjaga salawaku telah diambil melalui sigi (survei) intensif lanjutan oleh WWF-Indonesia pada 15 Januari 2017. Pemantauan ini melibatkan enumerator lokal di tiga desa favorit salawaku: Waenibe, Waspait, dan Wamlana, dan masih akan berlangsung hingga bulan Juni nanti.
Data individu penyu, jejak, hingga data tukik dan sarang salawaku adalah modal pertama untuk menjaga mereka. Saat ini, memang, besarnya ukuran tubuh salawaku belum mampu menjadi perisai untuk melindunginya dari ancaman perburuan oleh manusia. Tetapi, dari 10 ribu penduduk Pulau Buru, saya yakin masih banyak yang mau menjadi perisai bagi salawaku.