MENGAMATI HIU DAN PARI MANTA DI TAMAN NASIONAL KOMODO
Penulis: Dwi Ariyogagautama (Bycatch and Sharks Conservation Coordinator)
Manta Point merupakan destinasi yang paling ramai dikunjungi wisatawan yang datang ke Kabupaten Manggarai Barat. Sebagai salah satu titik penyelaman yang tersohor di Taman Nasional Komodo, titik ini menjanjikan tamu-tamunya perjumpaan dengan pari manta. Tidak hanya di lokasi ini, beberapa lokasi perjumpaan dengan hiu pun sangat tinggi pengunjungnya, seperti Batu Bolong. Tantangan menyelam bersama arus tidak menurunkan minat penyelam untuk terus berdatangan ke lokasi-lokasi ini.
Setidaknya dalam enam tahun terakhir, pengunjung Taman Nasional Komodo meningkat sebesar 10,75%. Tingginya jumlah wisatawan yang datang sebenarnya berpotensi mengancam sumber daya alam jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini juga berpengaruh terhadap kenyamanan pengunjung yang datang ketiap lokasi penyelaman. Meningkatnya jumlah pengunjung di lokasi selam hiu dan pari manta tanpa diatur serta kurangnya kepatuhan interaksi terhadap satwa yang bertanggung jawab telah menjadikan beberapa lokasi selam ini terancam. Oleh karena itu, sejak bulan November 2015 lalu, WWF-Indonesia bersama Balai Taman Nasional Komodo melakukan kajian daya dukung wisata pengamatan hiu dan pari manta. Lokasi-lokasi penyelaman yang menjadi stasiun penelitian adalah titik penyelaman hiu dan pari manta di Batu Bolong, Castle Rock, Crystal Rock, Golden Passage, Manta Alley, Manta Point (Karang Makassar), Mawan, Pengah Kecil, Tatawa Besar, serta Caulderon.
Dengan dihadiri oleh 24 peserta yang didominasi oleh perwakilan dive operator dan pemerintah daerah Kabupaten Manggarai Barat, konsultasi awal penyempurnaan analisa besaran kapasitas penyelam yang ideal setiap harinya di tiap lokasi penyelaman pun dilakukan pada tanggal 11 April 2016 lalu.
Dalam acara tersebut, akademisi dari Universitas Hasanuddin Ahmad Bahar menjelaskan penilaian daya dukung yang didasarkan pada daya dukung fisik dan kenyamanan wisatawan. Hasil perhitungan beliau menunjukan dari sembilan lokasi selam untuk perjumpaan hiu memiliki daya dukung berkisar 10 – 319 orang per hari dan tiga lokasi perjumpaan pari manta memiliki daya dukung berkisar antara 52 – 365 orang per hari. Angka-angka ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengelolaan wisata selam yang tak hanya nyaman bagi wisatawan tetapi juga tidak mengganggu ekosistem.
Berdasarkan survei terhadap 180 wisatawan dari berbagai negara yang datang ke Taman Nasional Komodo dan menyelam, sebanyak 33% wisatawan menyatakan tertarik terhadap objek atraksinya, seperti hiu dan manta, 29% karena keanekaragaman hayati, 13% karena keindahan biota laut, 10% ingin melihat komodo, dan 15% lainnya tertarik untuk fotografi dan melihat dari dekat budaya masyarakat lokal. Hal ini menunjukan bahwa wisata selam melihat hiu dan pari manta merupakan salah satu objek utama wisatawan datang ke daerah ini. Ancaman terhadap populasi hiu dan pari manta di perairan Kabupaten Manggarai Barat akan berdampak besar terhadap keberlanjutan wisata di lokasi ini.
Hasil dari kajian daya dukung ini diharapkan tidak berhenti pada angka batasan penyelam per hari saja, namun bisa dilanjutkan dengan perumusan tata cara pengaturan dan pengawasan. Mengatur kuota bagi dive operator dan menerapkan praktik-praktik wisata penyelaman yang bertanggung jawab (best practices) juga dapat menjadi pilihan kebijakan.
Untuk mendukung hal tersebut, WWF-Indonesia pun membuat Panduan Pariwisata yang Bertanggung Jawab (Best Environmental Equitable Practices/BEEP) Seri Aktivitas Bahari yang Bertanggung Jawab dan Pengamatan dan Berinteraksi dengan Satwa Laut. Kedua panduan ini disusun sebagai acuan bagi para wisatawan dan penyedia jasa wisata untuk lebih bijak bersikap ketika melakukan kegiatan pelesir di laut.