PAHLAWAN KONSERVASI DARI PESISIR BARAT
Tak banyak yang tahu jika kiprahnya dalam memperkenalkan teknik pertanian berkelanjutan kepada masyarakat di Lampung bermula dari pengalamannya menggarap lahan di dalam Hutan Produksi Terbatas yang diakuinya dilakukan secara tidak berkelanjutan. Kejadian ini menjadi kilas balik yang mengubah perilakunya dan mampu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan di tahun 2015, ia mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan konservasi dari Bupati Pesisir Barat. Ialah Mahmudi, sang pejuang konservasi dari Pesisir Barat. Pria kelahiran Jawa Tengah, 43 tahun lalu itu sehari-hari menghabiskan waktunya bertani di Desa Sukamaju, Ngaras, Kabupaten Pesisir Barat. Hingga akhirnya ia bertemu dengan tim WWF Indonesia dalam sebuah rapat pembentukan kelompok tani di desanya pada tahun 2005.
Lewat perkenalan singkatnya dengan tim WWF, ia belajar sekolah lapang pertanian berkelanjutan dengan komoditas utama coklat dan kopi. Awal ketertarikannya dengan metode sekolah lapang yang diperkenalkan WWF adalah karena menurutnya selain materi tentang budidaya yang ramah lingkungan juga ada praktek yang memang cocok untuk diimplementasikan di tingkat petani. Menurutnya petani mudah bosan jika terlalu banyak materi atau teori yang diberikan. Pengetahuan yang diperoleh dalam sekolah lapang tersebut tak lantas membuatnya berpuas diri. Ia mulai mengaplikasikannya di lahan sendiri dan melakukan trial and error hingga akhirnya perjuangannya membuahkan hasil. Ia berhasil meningkatkan produksi kakaonya dari 0,5 kg/batang menjadi 1,5 – 2 kg/batang. Panen kakao dilakukannya dua kali dalam setahun. Selain itu, rata-rata produksi kopinya pun menunjukkan peningkatan dari 0,4 kg/batang/tahun menjadi 1 kg/batang/tahun. Tak berhenti di situ saja, menurutnya teknik sekolah lapang ini telah berhasil menurunkan biaya produksi karena ia memproduksi sendiri pupuk dan pestisidanya. Kesuksesan yang sama pun dirasakan oleh petani lain di daerahnya yang telah menerapkan prinsip berkelanjutan dalam pola budidaya mereka.
Lewat kerjasama antara WWF, PT. Krakakoa, dan masyarakat petani kakao di Pesisir Barat, Mahmudi melatih masyarakat untuk membuat kakao fermentasi yang nantinya akan dibeli oleh PT. Krakakoa. Hal ini telah memberikan nilai tambah bagi produk kakao petani karena produk fermentasi ini dihargai Rp 60.000/kg, di saat harga kakao asalan di pasar hanya berkisar Rp 20.000 – 30.000/kg.
Bermodalkan pengetahuan dan pengalamannya menerapkan pola budidaya berkelanjutan, ia mengikuti training of trainer (ToT) yang digagas oleh WWF untuk menjaring para petani yang dianggap memiliki kecakapan menjadi fasilitator sekolah lapang pertanian organik. Ia kemudian bergabung dengan WWF sebagai fasilitator sekolah lapang kopi pada tahun 2010 dan 2011 lewat program kopi konservasi yang juga didukung oleh NESTLE di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus.
Sebagai seorang fasilitator, ia merasa bahwa tantangan paling mendasar dalam memfasilitasi petani adalah sejauh mana kita sudah mempraktekkan materi yang kita sampaikan, jangan sampai menyampaikan materi yang kita sendiri belum pernah lakukan. Hal itu akan menjadi boomerang baginya jika ada peserta yang balik bertanya "Apakah Bapak sendiri sudah melakukan?”
Baginya pengalaman yang paling menarik sebagai seorang fasilitator sekolah lapang adalah ketika berkegiatan dengan petani dan pesertanya tidak mudah percaya terhadap apa yang disampaikan. Ia merasa bahwa itu menjadi tantangan tersendiri. Biasanya petani ingin bukti dan setelah mereka melihat bukti nyata maka apapun yang disampaikan pasti akan mereka percayai. Cerita ini terjadi saat kegiatan sekolah lapang kopi yang dilakukan di Desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Tanggamus.
Pengalamannya memfasilitasi petani di WWF kemudian mengantarkannya berkiprah di tempat lain yakni di PT. Krakakoa sebagai fasilitator sekolah lapang kakao dan quality control untuk wilayah Tanggamus dan Pesisir Barat dari tahun 2014-2016. Lalu pada 2017 sampai awal Mei 2018, ia bergabung dengan Swisscontact dalam program SCPP (Sustainable Cocoa Production Program) sebagai Field Fasilitator (FF) sebelum bergabung kembali dengan WWF sejak Mei 2018 lewat Program Conserving Priority Habitat in Bukit Barisan Selatan Landscape sebagai Community Fasilitator (CF).
Di awal, tidak mudah baginya menerapkan pola pertanian berkelanjutan. Ia mengakui pernah menggarap kebun di lokasi HPT (Hutan Produksi Terbatas) yang terletak di Dusun Ujung Pandang, Desa Sukamaju. Karena pengetahuan yang terbatas pada saat itu, ia melakukan pembukaan lahan sesuai dengan tradisi masyarakat lokal yaitu dengan menebang pohon yang ada di hutan lalu menunggu selama sebulan hingga lahan tersebut kering untuk selanjutnya dilakukan pembakaran. Sisa pembakaran tersebut dibersihkan dengan cara dikumpulkan dan dibakar lagi. Setelah lahan bersih dan musim hujan datang, maka lahan siap ditanami padi gogo. Pola pembukaan lahan secara tidak berkelanjutan tersebut diakuinya telah merusak hutan. Ia kemudian sadar bahwa pembukaan lahan dengan membakar adalah cara yang tidak tepat dan membahayakan ekosistem serta tidak berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.
Kejadian tersebut menjadi cambuk dan memberikan pelajaran penting baginya. Setelah Ia tahu bahwa yang dilakukannya selama ini kurang tepat maka Ia merasa perlu untuk memperbaiki cara budidaya yang lebih ramah lingkungan dengan tidak membakar lahan serta mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Ia menambahkan bahwa hal tersebut akan lebih baik bila dilakukan secara kolektif sehingga dampak positifnya bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Keterampilannya memfasilitasi petani ternyata berbuah manis. Ia kembali bekerja bersama WWF sebagai Faslitator Masyarakat lewat program KfW. Program konsorsium yang melibatkan WWF, WCS, dan YABI dalam mendukung penyelamatan habitat prioritas untuk satwa kunci di TNBBS. Ia mendampingi 2 desa di wilayah Kabupaten Pesisir Barat, antara lain Desa Paku Negara, Kecamatan Pesisir Selatan dan Desa Labuhan Mandi, Kecamatan Way Krui.
Melalui keterlibatannya dalam program penyelamatan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, ia berharap agar pengelolaan TNBBS semakin baik, tidak ada lagi perambahan, perburuan satwa liar dan illegal logging. Ia juga berharap agar masyarakat penyangga mendapatkan perhatian serius dalam hal pengelolaan kawasan penyangga khususnya yang berada di wilayah HTR (Hutan Tanaman Rakyat) karena saat ini status mereka tidak jelas. Ketidakjelasan tersebut ditengarai oleh izin HTR yang saat ini dikuasai oleh koperasi dimana masyarakat lokal tidak menjadi bagian di dalamnya. Ia meminta agar masyarakat didorong untuk mengelola HTR secara mandiri.