PERNIKAHAN DINI DI LABENGKI
Oleh: Ignatia Dyahapsari (WWF-Indonesia)
“Anaknya, Pak?”
“Bukan, ini cucu saya.”
Begitu sepotong percakapan singkat kami dengan nelayan Desa Labengki, Pulau Labengki Kecil, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara. Kami yang singgah di rumahnya untuk membeli donat, malah dikagetkan oleh anak perempuan kecil yang ternyata cucu nelayan yang belum juga paruh baya ini.
Siang itu, saya dan Nisa (WWF-Indonesia) duduk-duduk di teras rumah Bapak Kaur Pemerintahan Desa Labengki, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara.
Istrinya, mantan guru SMP di Labengki, bercerita pada kami tentang pernikahan dini, fenomena yang terjadi di pulau kecil ini. Ia mengungkapkan keprihatinannya melihat anak-anak di Labengki yang menikah di usia yang sangat muda.
Banyak anak perempuan di desa ini langsung menikah setelah lulus sekolah. Atau bahkan, mereka putus sekolah untuk menikah. Usia mereka beragam ketika menikah. Paling muda di usia 12 atau 13 tahun, atau biasanya ketika mereka masih duduk di bangku SMP.
Terdapat 114 KK dengan 456 penduduk yang mendiami dua dusun di Desa Labengki, Pulau Labengki Kecil. Fasilitas pendidikan masih sangat terbatas, hanya ada 1 SD dan 1 SMP. Anak-anak Labengki harus meninggalkan pulau untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA.
Namun, yang menjadi sorotan bagi Ibu Kaur adalah bagaimana pendidikan masih dipandang sebagai tempat belajar membaca dan berhitung saja. Jika sudah bisa membaca dan berhitung, kebanyakan tidak lagi terlalu fokus belajar, atau bahkan putus sekolah.
Beberapa anak murid Ibu Kaur menikah di kelas 1 SMP. “Bahkan, dia menikah lebih dulu dari saya,” katanya. Ia bercerita bahwa tetangganya ketika berumur 13 tahun sudah memiliki dua orang anak. “Ada juga yang berumur 17 tahun sudah punya lima anak,” ungkapnya.
“Terkadang sampai orang Posyandu yang datang bingung karena tidak tahu, yang membawa bayi itu kakak atau ibunya,” sambungnya.
Hamil di usia muda menimbulkan masalah-masalah pada saat proses kelahiran. Beberapa anak perempuan dari pulau ini dilarikan ke Lasolo untuk dioperasi cesar.
Badan yang masih terlalu kecil membuat sulit proses kelahiran. Sehingga, mereka harus melakukan perjalanan kurang lebih satu jam menyeberangi pulau untuk sampai ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan kapal kecil.
“Saat ini semakin banyak anak yang menikah muda. Kalau tidak direstui, sebagian nekat kawin lari,” kisahnya, masih pada kami. Dampak dari pernikahan di usia muda, banyak yang meninggalkan bangku sekolah.
Namun, syukurnya, ada anak-anak yang masih mau sekolah walaupun sedang hamil. Meski miris, dalam hati saya mengapresiasi keinginan beberapa anak dalam melanjutkan pendidikan meski dengan tantangan. Hal yang sangat positif, mengingat banyak anak lainnya yang putus sekolah.