POTONG RAMBUT ANAK SUKU BAJO
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Ada yang berkesan dari perjalanan kami di Desa Tanjung Bunga, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara. Suku Bajo, suku pelaut, seperti pada banyak desa pesisir Sulawesi Tenggara lainnya, mendominasi masyarakat desa pemekaran yang resmi berdiri tahun 2007 ini.
Rumput laut kering berbagai warna banyak dijemur di halaman-halaman rumah warga. Ada yang putih, hijau, dan merah muda. Budidaya rumput laut di desa ini cukup maju, didukung dengan Peraturan Desa yang mematok harga lebih tinggi untuk pembeli dari luar, jika tidak melalui penampung rumput laut, Ibu Martina.
Mata pencaharian di desa ini tak hanya nelayan tangkap dan budidaya – tapi juga berkebun cengkeh. Meski, kemarau panjang selama delapan bulan pada tahun 2015 lalu, pernah menjadi isu besar bagi warga desa ini. Begitu cerita Ibu Yuliati, istri kepala desa yang juga menjadi Ketua PKK Tanjung Bunga. “Hanya ada satu mata air di atas kebun, di bawah pohon cengkeh sana,” katanya.
Hari itu, dari pantai desa tetangga, Kampuh Bunga, kami yang kali ini ditemani Om Diy (WWF-Indonesia) yang mengemudikan Dinggi, berjalan menyusuri desa dengan mujur – dengan satu kantong penuh kepiting. Tadi, kami beli dari nelayan yang baru saja pulang ke desa.
Tak seberapa jauh dari rumah Bendahara Desa Tanjung Bunga yang kami singgahi, terlihat tenda biru dan kursi-kursi pesta tempat warga berkumpul. Kebanyakan anak-anak kecil, tertawa-tawa dan berteriak. Ditingkahi suara orangtua mereka melalui pengeras suara.
“Sai arang no?” Saya mencoba sok berbahasa Bajo, menanyakan nama mereka, ketika saya dan Irwan (WWF-Indonesia) menyambangi tenda pasca acara. Beberapa menyebutkan namanya malu-malu, terfokus pada kamera besar yang Irwan bawa.
Cukup lama kami merekam anak-anak Bajo yang malu-malu bernyanyi lagu Bajo – tapi kencang suaranya. Habis satu lagu, tiba-tiba mereka melanjutkan dengan lirik yang lain.
“Ibu tiri…. Hanya cinta, kepada….”
“Jangan, jangan.. Kami mau dengar lagu Bajo,”
“Bapa ini jagooo menyanyi lagu Bajo!”
Semua bersorak ketika bapak paruh baya ini dengan penuh percaya diri berdiri sambil melenggangkan badan di tengah kami. Tawa kami malah pecah ketika anak kecil yang digendongnya, malah menangis karena gestur tangan bapak yang ke sana kemari, termasuk mengusap wajah si kecil berkali-kali.
“Ini acara potong rambut,” terang ibu pemilik rumah pada kami. Kami sudah duduk di dalam rumah, dan disuguhi menu pesta mereka yang rasanya enak – terutama terongnya, kata Irwan. “Jadi, kita Bajo kalau anak kecil itu dikasih potong rambutnya, tidak harus langsung saat lahir tapi bisa menunggu satu tahun seperti ini,” ceritanya.
Ternyata, aqiqah – memotong rambut bayi baru lahir dan menyembelihkan kambing dalam Islam, dalam Islam Bajo adalah tradisi potong rambut yang digelar untuk balita mereka. Prosesi ini penting dalam siklus hidup anak-anak Bajo, agar mereka dianugerahi kebaikan selama hidupnya.
Kami lanjut mengunyah nasi dengan ikan, telur rebus, dan terong bumbu kelapa serut. Sebelum mengunyah kepiting yang sedang direbus di rumah bendahara desa.