SAPAAN MANJA UR PULAU
Oleh: Rosa Aulya (Fish Observer, Fisheries Diving Club IPB)
Memasuki hari kedua penyelaman pada kegiatan Ekspedisi Kei Kecil bersama WWF-Indonesia. Aku Ocha dari FDC-IPB, kebetulan pada xpdc kei kecil ini aku sebagai fish observer. Kegiatan penyelaman ini terbagi menjadi 2 yaitu tim A dan tim B. Aku masuk dalam tim B, dan hari ini aku diberi kepercayaan sebagai team leader dengan anggotanya aku dan Ican sebagai fish observer, Ical sebagai roll master, mas Farhan sebagai benthic observer, mas Bima sebagai photographer, lalu ada mbak Tiela dan bang Nuy sebagai seagrass observer.
Hari ini kami pengamatan pada 3 titik, yaitu Ur Pulau, Pulau Warbal, dan Pulau Ohoiwa. Titik pertama kami berangkat ke Ur Pulau. Setibanya di Ur Pulau kami menurunkan tim lamun, kemudian kami tinggalkan mereka dan pergi ke lokasi penyelaman. Setelah satu jam penyelaman, kami kembali ke lokasi awal tempat menurunkan tim lamun. Namun pantai tersebut sunyi sepi tak ada suara sedikitpun.
Setengah jam berlalu, kami tak kunjung menemukan sumber suara, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke kampung. Kami di sambut dengan sapaan manja khas orang timur, keras nan bersahaja. Awalnya aku biasa saja, namun perlahan suara-suara itu mulai terdengar aneh ditambah dengan tatapan tajam seolah ingin berperang. Hatiku mulai resah, jantungku berdegub kencang, keringat mengucur deras dan dingin.
“Ini ada apa ya can, kok rame?” tanyaku heran kepada Ican.
“Oh, kayanya gak kenapa-kenapa kok. Santai, tenang aja” jawabnya menenangkan.
Tubuhku mulai gemetar. Jantungku berhenti sesaat saat melihat tongkat panjang berujung besi di depan mataku. “Ayo, turun sini, kalo mau kesini harus izin dulu, jangan asal masuk” sapa bapak itu, jelas aku tak mengenalnya. Tak seorang pun dari kami angkat berbicara, kami hanya mengikuti apa yang mereka katakan.
Tak henti-hentinya aku berdoa dalam hati, agar kami semua tetap dalam perlindungan yang Maha Kuasa. Kami digiring dan ditonton semua orang seolah sedang ada pawai 17 agustus. Tiba-tiba seorang anak berusia 15 tahun menghampiriku, memegang erat tanganku, dan berkata “Kakak, tidak apa-apa, jangan takut e” ucapnya mencoba menenangkanku.
Masih dengan sambutan orang ramai, kami pun sampai di sebuah rumah milik tetua desa Ur Pulau. Tetua desa tersebut menanyakan maksud dan tujuan kami kesini. Aku masih dapat mendengar keramaian dari luar rumah. Resah, itu yang semua orang rasakan, bukan hanya kami tapi masyarakat pun sepertinya merasakan itu. Setelah 2 jam berlalu, akhirnya kami diterima oleh masyarakat Ur Pulau. Kami disuguhkan dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Berbanding terbalik dengan sebelumnya, setelah tetua desa mengkonfirmasi kehadiran kami. Masyarakat Ur Pulau justru senang dengan kunjungan kami, bahkan mereka bilang bahwa mereka sudah menyayangi kami. Akhirnya tim kami diantar pulang menuju dermaga dan saling melambaikan tangan dengan tatapan haru nan bahagia. Ternyata kiasan ‘tak kenal, maka tak sayang’bukan hanya guyonan, tapi juga sebuah pengingat agar kita selalu menghormati semua orang.