SEKOLAH RUMPUT LAUT I, BANTU PEMBUDIDAYA PAHAMI BISNIS RUMPUT LAUT INDONESIA
Penulis: Faridz Rizal Fachri (Fisheries Business Officer WWF-Indonesia)
Tidak menentunya harga rumput laut yang terus terjadi dengan selisih harga yang signifikan, ternyata cukup berdampak pada kepercayaan diri para pembudidaya rumput laut untuk konsisten dalam berbudidaya. Tekanan harga yang belum mampu mencukupi kebutuhan hidup, menuntut mereka untuk mencari penghasilan lain.
Kondisi ini diperburuk dengan serangan penyakit ice-ice yang menurut para pembudidaya sudah berlangsung kurang lebih selama 10 bulan terakhir di perairan Pulau Hoat, Pulau Nai, dan sebagian besar lokasi lainnya di perairan Maluku Tenggara. Hal ini mengakibatkan sebagian besar pembudidaya kembali ke darat, sementara hanya 33% pembudidaya yang tetap bertahan dan aktif melakukan kegiatan budidaya rumput laut, yang diikuti oleh menurunnya produktivitas rumput laut dari Kabupaten Maluku Tenggara.
Dengan ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Perairan dan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Kei Kecil, Pulau-Pulau dan Perairan di Sekitarnya pada awal Februari 2016, Kabupaten Maluku Tenggara diharapkan dapat memberikan pengaruh yang besar bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, kemunculan penyakit ice-ice pada rumput laut di sebagian besar wilayah kabupaten ini membutuhkan perhatian lebih dari pihak pengelola dan pemerintah daerah untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi pada kondisi perariannya.
Kajian pengamatan penyakit dan pertumbuhan rumput laut sejatinya telah dilaksanakan secara bersama antara Kelompok Pembudidaya Rumput Laut “Penyu Lestari” di Pulau Hoat-Nai, Ohoi Debut, WWF-Indonesia, dan sejumlah akademisi. Kajian tersebut mengidentifikasi varietas rumput laut hasil kultur jaringan Lampung memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit dengan pertumbuhan yang konstan (tiga kali lipat dalam kurun waktu 25-30 hari).
Selain itu, dari penelitian bersama tersebut, pembudidaya setempat telah memahami faktor-faktor penyebab munculnya penyakit dan memahami metode penelitian, sehingga ke depannya dapat melakukan analisis kondisi rumput laut secara mandiri.
Permasalahan lain yang perlu ditindaklanjuti adalah ketersediaan bibit yang menipis akibat serangan penyakit melalui skema Aquaculture Improvement Program (AIP) untuk rumput laut Kotoni, yaitu dengan mendorong adanya kebun bibit yang dikelola oleh kelompok melalui penggunaan bibit hasil penelitian yang telah direkomendasikan.
Modal pengadaan bibit kelompok mendapatkan dukungan desa dari dana Badan Usaha Milik Ohoi (BUMO) atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sesuai dengan kebutuhan masing-masing pembudidaya dan dilakukan secara kolektif oleh kelompok. Hal ini menjadi salah satu potensi yang layak untuk direncanakan dan dimanfaatkan secara efektif.
Guna meningkatkan motivasi para pembudidaya, penting dilakukan peningkatan pengetahuan mereka terkait dengan kondisi bisnis rumput laut yang sebenarnya di Indonesia. Kesempatan yang sangat bagus didapatkan oleh kelompok pembudidaya di Pulau Hoat-Nai dan Ohoi Wab Arso ketika berdiskusi secara intens terkait dengan bisnis rumput laut di Indonesia dan peluang kerja sama dengan PT. Bantimurung Indah (Makassar), pada tanggal 6-7 September 2016.
Diskusi yang berjudul Sekolah Rumput Laut I ini diselenggarakan oleh WWF-Indonesia dan PT. Bantimurung Indah di Pulau Hoat, Ohoi Debut, dan dihadiri oleh sejumlah masyarakat pembudidaya dampingan WWF-Indonesia di Maluku Tenggara.
Sebagian besar pembudidaya beranggapan bahwa semakin tinggi harga, maka semakin baik bagi mereka. Namun perlu diperhatikan juga peran pasar (market’s role) didalamnya, yang tentunya dilakukan oleh para tengkulak (middleman) untuk memenuhi kebutuhannya.
Agus Salim, pimpinan PT. Bantimurung, meyakinkan para pembudidaya bahwa sejatinya hal yang terpenting dalam bisnis rumput laut adalah terciptanya harga konstan yang tidak selalu tinggi namun diutamakan pada harga pasti dan memotong supply chain untuk sedikit mendongkrak harga yang ada.
Terlebih juga karena pasar Cina yang menekan biaya produksi serendah mungkin untuk efektivitas produksi pengolahan rumput laut mereka berdampak pada dinamika harga di Indonesia. Keberlanjutan, konsistensi dan pengaturan produksi, sebetulnya menjadi kunci bagi pembudidaya untuk dapat mengelola pendapatannya dari sektor komoditas rumput laut ini.
Dunia industri sangat tertarik dengan kualitas rumput laut yang dimiliki oleh Maluku Tenggara, terlihat dari kandungan gell strange mencapai 900 gr/cm2, daripada rumput laut yang berasal dari area Maluku lainnya yang hanya berkisar 700 gr/cm2. Dengan kondisi olahan yang putih dan bersih (pasar internasional menyebutnya kualitas ‘light’), rumput laut Maluku Tenggara memiliki daya saing yang potensial. Potensi inilah yang tentunya tetap dijaga dengan mendorong terjadinya kerja sama antara sektor privat dengan masyarakat.
Potensi lain yang dapat didukung adalah beroperasinya pabrik pengolahan rumput laut di Maluku Tenggara yang belum berfungsi dengan baik. Diyakini bahwa segala permasalahan pembudidaya dapat teratasi secara tuntas dengan mengolah bahan mentah secara langsung di tingkat lokal. Komunikasi yang telah terjalin antara para pembudiaya dengan pemerintah daerah cukup mendapat respon baik, namun tetap harus dijaga dan dipantau terkait dengan proses tindak lanjutnya.
Selain peran pasar, hal yang perlu digarisbawahi juga adalah peningkatan kualitas dan kapasitas kelompok hingga menjadi komunitas yang kuat demi keberlanjutan mata pencaharian mereka, baik dari segi ramah lingkungan dan juga segi penghidupan bagi mereka.