SNORKELING DAHULU, JATUH CINTA KEMUDIAN
Oleh: Tri Artining Putri (Tempo Media)
Dengan tulisan yang masih sedikit di laptop, saya enggan sekali menjawab telepon dari atasan malam itu. Maklum, lagi tenggat. Tulisan yang belum selesai, membuat saya parno ditanya ini itu. Entah kenapa setelah berdering agak lama, saya langsung merasa teleponnya agak penting. Bukan sekadar soal tenggat tulisan.
Akhirnya saya jawab telepon si bos. Ia memerintahkan saya liputan ke Kendari. Tumben sekali dia bertanya soal kesediaan saya. ""Soalnya ini tinggal di kapal, takut lo mabok,"" kata dia di ujung telepon.
Saya ditugaskan untuk meliput #XPDCSULTRA, ekspedisi yang dipimpin WWF-Indonesia. Dari dua belas hari pelaksanaan ekspedisi di atas Kapal Menami, saya agak menyesalkan kenapa saya hanya dapat ikut pada lima hari terakhirnya.
Sebagai orang yang belum pernah naik kapal laut lebih dari tiga puluh menit, saya tidak tahu apakah akan mabuk laut atau tidak. Jadi, saya ikuti semua perintah di undangan yang saya terima dari bos. Mulai dari kantung plastik, karet gelang, dry bag, fin, masker, snorkel, sampai hansaplast, saya siapkan.
Takut merepotkan orang. Dan saya tidak suka laut. Lengket sekali airnya kalau kena badan. Saya berangkat dengan sombong. Dibawa saja dulu peralatan snorkeling-nya, kalau ingin ya tinggal nyemplung, tapi kalau enggak harus ya tidak usah, pikir saya.
Yang terjadi 48 jam kemudian adalah saya nyemplung dengan sukarela. Tidak ada yang mengharuskan, apalagi memaksa. Pemandangan dan laut Sulawesi Tenggara-lah yang menarik saya masuk ke air. Masuk ke laut seperti ada di dunia lain.
Dunia warna warni yang super indah dan enggak berisik. Kebalikan dengan dunia atas air yang berisiknya bukan main. Di laut saya bisa menyepi dan menyapa ikan-ikan dengan lambaian tangan. Semoga mereka mengerti saya tak bermaksud mengganggu.
Perairan dan pantai di Sulawesi Tenggara kelewat ajaib untuk orang yang jarang ke laut seperti saya. Airnya jernih sekali, pemandangan bawah lautnya luar biasa indah, pantainya masih banyak yang perawan. Paling tidak, belum banyak tersentuh wisawatan. Jadi saya sering sekali mengambil gambar dengan kamera saya. Semata karena enggak ada yang pantas dilewatkan oleh kamera saya. Semua harus kena jepret.
Menulis liputan Menami sebenarnya tak akan cukup dalam artikel ini. Buat saya yang hanya tinggal di sana empat hari, Menami lebih dari sekadar rumah. Awak di sana sangat-sangat luar biasa ramah. Semua menyambut saya dengan senyum.
Belum lagi teman-teman yang saya temui di sana. Para penyelam dan peneliti yang sepertinya memang hidup untuk memperjuangkan nasib biota laut yang saya bilang punya dunia warna warni itu. Mereka semua luar biasa.
Saya harus jujur. Saya jatuh cinta pada laut sejak saat itu.