SOSIALISASI LAHIRKAN KOMITMEN LINDUNGI PANTAI PENELURAN PENYU BELIMBING TERBESAR DI MALUKU
Oleh: Syarif Yulius Hadinata – Marine Species Assistant WWF Indonesia Inner Banda Arc Subseascape
“Di desa inipun bisa membuat Perdes (Peraturan Desa) terkait dengan perlindungan terhadap penyu sehingga semuanya terintegrasi,” ujar Arif Hentihu, Wakil Raja Leisela pada sesi Focus Group Discussion (FGD) kegiatan Sosialisasi Konservasi Penyu di Pulau Buru. Himbauan ini mengajak semua elemen masyarakat untuk bersama-sama melindungi pantai peneluran penyu belimbing (Dermochelys coriacea) terbesar yang ada di Maluku.
Kegiatan Sosialisasi Konservasi Penyu ini diselenggarakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku bersama Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, Dinas Perikanan (DP) Kabupaten Buru dan WWF Indonesia Inner Banda Arc Subseascape di Waspait Resort Buru (6/3). Sosialisasi selama 5 jam tersebut dihadiri oleh Pemerintah Kecamatan Fena Leisela, pemerintah dan masyarakat Desa Waenibe, Desa Waekose, Desa Waspait dan Desa Wamlana, aparatur keamanan dari Polsek Air Buaya dan Koramil Air Buaya serta Kepala Soa atau Kepala Adat. Total ada 79 orang yang menghadiri acara tersebut.
Akhir dari sosialisasi ini melahirkan butir-butir kesepakatan dan komitmen sebagai rencana aksi yang akan dilakukan bersama-sama diantaranya: (a) menekan kerusakan habitat laut; (b) menekan penggunaan bahan kimia yang tak ramah lingkungan; (c) Kepada Desa hingga RT perlu memberikan sosialisasi kepada masyarakatnya masing-masing tentang perlindungan penyu; (d) mendorong terbitnya Perda dan Perdes/Peraturan Negeri/Peraturan Bersama di empat desa (Waenibe, Waekose, Waspait dan Wamlana) tentang perlindungan penyu; (e) memasang spanduk khusus di empat desa untuk sosialisasi kepada masyarakat secara umum; (f) putra/putri daerah atau anak negeri difasilitasi untuk menjadi petugas konservasi; (g) membentuk Tim Perumus Peraturan Desa; (h) penegakan hukum yang tegas yang dibantu Kepolisian dan TNI; (i) pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS); (j) relokasi sarang telur penyu agar aman dari predator, pencuri telur dan faktor alam yang menjadikan daya tetas tukik rendah.
Perlindungan terhadap penyu bukanlah hal baru sebagaimana tertuang dalam UU No 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dan mematuhinya. Jika dilihat kondisi saat ini, di beberapa daerah masih banyak temuan pemanfaatan dan perdagangan penyu, telur, bagian tubuh, dan/atau produk turunannya sehingga mengancam keberlanjutan dan kelestarian penyu. Hal ini dapat kita lihat di desa Pantai Peneluran Penyu Pulau Buru Utara. Data monitoring populasi penyu tahun 2017 yang sudah dilakukan WWF Indonesia menunjukkan 57% sarang diambil telurnya dari total 489 jejak dan sarang penyu mendarat. Selain itu, telah terjadi 6 kasus perburuan penyu yang mengakibatkan 2 individu penyu belimbing dan 5 individu penyu lekang harus mengakhiri masa jelajahnya. Masih tingginya angka pemanfaatan terhadap penyu tersebut menunjukkan pentingnya sosialisasi.
Pulau Buru menjadi temuan baru sebagai pantai peneluran penyu belimbing terbesar di Maluku. Dari 489 jejak dan sarang penyu yang mendarat, ditemukan sebanyak 251 jejak dan sarang penyu belimbing, 237 jejak dan sarang penyu lekang, dan 1 jejak dan sarang penyu hijau. Ini adalah sebuah kebanggaan bagi kita di Indonesia khususnya Maluku, karena memiliki potensi pantai peneluran skala besar dan sudah masuk dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu Indonesia. Untuk itu Mari Katong jaga Akang, masih ada secercah harapan untuk penyelamatan penyu, sang penjelajah samudera.