TERJEBAK SURUT DI TANIMBAR KEI
Oleh: Bima Prasena (Fotografer/@worldlifetravel)
Teriakan itu semakin jelas, membuat kami teringat lagi kejadian beberapa hari lalu di Ur Pulau. Semoga tidak terulang.
Kami sudah bergerak pagi sekali, bahkan sang mentari pun baru saja bangun dari tidurnya. Percikan air yang terbelah oleh badan kapal sesekali masuk ke dalam, membuat pakaian kami basah. Om Udin yang menjadi Kapten perahu kecil kami, begitu tenang sambil sesekali tangannya memainkan kemudi di bagian belakang perahu.
Hari ini kedua tim Ekspedisi menuju ke titik terjauh dalam operasi, Tim A menuju ke Pulau Tayando dan kami, Tim B menuju ke Pulau Tanimbar Kei. Kedua wilayah operasi ini berada sedikitnya 2 jam perjalanan yang melelahkan, dan kami harus mengejar waktu saat ombak belum ganas.
Kami cukup beruntung kali ini, karena penyesuaian anggota tim. Om Ongky yang merupakan putera daerah dan bekerja di Dinas Perikanan setempat, sangat mengetahui daerah ini, juga dikenal banyak orang, masuk dalam Tim B ini. Kejadian di Ur Pulau bisa diminimalisir (baca: Pencarian di Ujung Parang Tajam). Semoga saja.
Menurut Om Ongky, Tanimbar Kei adalah desa yang paling jauh menuju ke Kei Kecil, cukup terisolir karena ombaknya cukup ganas. Karena keadaan alam itulah, mereka cukup tegas dengan aktivitas orang lain di wilayah perairannya. Siapapun yang beraktivitas disana haruslah meminta izin terlebih dahulu, jika tidak ingin celaka. Bagus sekali, pikirku, mereka bisa menjaga perairan mereka dengan baik.
Perahu kami tidak bisa bergerak lagi, karang-karang sudah terlihat sangat jelas, air hanya setinggi betis orang dewasa. Tanpa sadar kami masuk ke sebuah daerah yang dipagari dengan tiang-tiang kayu panjang, Om Ongky mendorong perahu sedikit ke depan, karena mesin kami sudah terangkat ke atas, tak bisa digunakan pada ketinggian air seperti ini.
Hampir 2 kilometer air surut dari daratan, lebih tepatnya dari desa Tanimbar kei, dimana kami berusaha untuk menuju kesana untuk meminta izin melakukan penyelaman di perairan ini. Tapi untuk berjalan kaki melewati karang seperti ini butuh waktu sangat lama, dan menunggu air pasang justru membuat kami melewatkan kondisi air tenang untuk melakukan penyelaman.
Di kejauhan, beberapa perahu yang penuh dengan penumpang berteriak ke arah kami, Om Ongky yang sedang berjalan diantara karang, tiba-tiba berhenti dan kembali lagi ke perahu. “Jangan kesini!!” teriak mereka. Tak lama air dipenuhi banyak orang dengan tombak panjang, sambil berteriak-teriak. Kami hanya berdiam diri di atas perahu.
Orang-orang semakin ramai, mereka bergerak ke arah kami. Saya memperhatikan sekeliling, untuk bisa menghitung jarak perahu dengan lautan dalam dan memperkirakan waktu untuk kami bisa lari, tapi kami berada hampir ditengah air yang surut.
Mentari pagi yang kadang terhalang awan, menjadi semakin panas, berusaha untuk tidak panik semakin menjadi hal yang mustahil.
Ada yang aneh. Gerakan orang-orang yang mengepung itu semakin berbelok menjauh dari kami, justru ke sebuah kolam dangkalan diantara karang. Mereka berteriak semakin keras lalu menghujamkan tombak mereka ke air, sesekali gelak tawa sangat jelas ku dengar, saat mereka mengangkat ikan-ikan besar yang sudah tak berdaya di ujung tombak.
Syukurlah, ternyata bukan kami yang kembali menjadi sasaran, tetapi perahu kami masih hening, saya melihat ke bawah, seseorang meringkuk tegang sambil menutup mukanya. “Ocha?, kenapa?” tanyaku, “Aku ga mau dengarrr” sahutnya. Rupanya teriakan-teriakan tadi masih mengingatkannya pada kejadian Ur Pulau. Kami justru tertawa.