UPAYA MENJAGA KEBERLANGSUNGAN PERIKANAN KARANG WAKATOBI
Penulis: Anastalia Adelady (Fisheries Business Officer, WWF-Indonesia Program Southern-Eastern Sulawesi Subseascape/SESS)
Ikan karang adalah salah satu sumber daya perikanan penting, baik secara ekonomi maupun secara ekologis. Secara ekonomi, ikan karang merupakan komoditi perdagangan dan sudah lama menjadi sumber kehidupan nelayan. Secara ekologis, habitat ekosistem terumbu karang dan ikan-ikan karang merupakan kawasan paling penting sebagai mata rantai produktivitas perairan laut.
Komoditas perikanan karang yang paling banyak dimanfaatkan adalah jenis kerapu (Grouper) dan kakap (Snapper). Jenis-jenis ikan ini memiliki harga jual yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya dan belum ada pembatasan penangkapan dari sisi undang-undang. Tekanan ekploitasi penangkapan yang dapat menyebabkan overfishing dan cara penangkapan merusak menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan perikanan karang. Kerusakan ekosistem terumbu karang akan mengakibatkan sumber daya ikan karang berkurang dan perekonomian nelayan akan berkurang
WWF-Indonesia Program Southern-Eastern Sulawesi Subseascape/SESS mendukung dan mendampingi masyarakat untuk melakukan praktik perikanan ke arah yang lebih ramah lingkungan. Salah satu bentuknya adalah dengan pelatihan penerapan BMP—Better Management Practices—Ikan. Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan di Wakatobi ini tujuan utamanya adalah penguatan kapasitas bagi kelompok sebagai anggota JARING-Nusantara dalam mengembangkan perikanan yang berkelanjutan (Baca juga Mengenal JARING-Nusantara, Sebuah Inisiatif untuk Praktik Perikanan yang Berkelanjutan). Pelatihan BMP ini diikuti oleh anggota kelompok Antapulo dan perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan/DKP Wakatobi serta pemberian materi oleh staf Fisheries Business Officer WWF-Indonesia Program SESS Anastalia Adelady. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 21 Juni 2016 dan bertempat di Sekretariat Antapulo, Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia Timur.
Dalam materinya, Adel—panggilan dari Anastalia Adelady—menjelaskan tentang tingginya permintaan akan ikan karang menyebabkan nelayan melakukan penangkapan secara terus menerus tanpa memerhatikan keberlanjutan perikanan dan menangkap ikan karang untuk semua ukuran ikan. Sekitar 15 tahun yang lalu ikan karang tidak memiliki nilai jual sehingga stoknya masih banyak tersedia di alam. Namun, seiring dengan perkembangan zaman permintaan pasar akan ikan karang sangat tinggi sehingga mendorong nelayan melakukan penangkapan secara terus menerus, baik dengan menggunakan alat tangkap pancing maupun secara destructive fishing. Kemudian Munawir—salah satu anggota tim Fisheries Science WWF-Indonesia—juga turut menambahkan bahwa nelayan masih banyak yang berpendapat bahwa ikan tidak akan pernah habis. Namun berdasarkan pengalaman, saat ini nelayan telah merasakan beberapa kondisi yang menjadi indikator status stok perikanan yang semakin menurun, seperti jumlah ikan yang ditangkap semakin sedikit, ukuran ikan yang ditangkap semakin kecil, dan jarak mencari ikan semakin jauh. Oleh karena itu, setelah pelatihan ini nelayan diharapkan dapat lebih bijak melakukan penangkapan dengan tidak menangkap ikan yang bertelur dan minimal menangkap ikan yang sudah pernah memijah, yaitu ukuran >600 gr untuk keberlanjutan perikanan di Wakatobi.
Kelompok Antapulo yang menjadi target dampingan WWF-Indonesia Program SESS ini merupakan kelompok yang tergabung dalam UD Pulau Mas, perusahaan yang menjadi anggota Seafood Savers (Kunjungi http://www.seafoodsavers.org/ untuk tahu informasi tentang bisnis perikanan yang berkelanjutan). Kelompok ini banyak memberikan kontribusi dalam penerapan perikanan berkelanjutan di Pulau Tomia dalam menerapkan hal ukuran tangkap minimal ikan karang. Selain itu, kelompok Antapulo juga berkontribusi sebagai anggota pengawas wilayah perairan terhadap nelayan yang melakukan illegal fishing
WWF-Indonesia Program SESS berkomitmen untuk mendukung pengelolaan perikanan melalui kegiatan pendampingan dan penguatan kelompok Antapulo, yang tertuang dalam penyusunan rencana kerja/workplan berdasarkan prinsip-prinsip Fisheries Improvement Program (FIP) dan melakukan pencatatan hasil tangkapan dengan logbook. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk membangun kerja sama dengan jaringan pasar yang saat ini mulai banyak meminta produk perikanan ramah lingkungan.