XPDCSAIRERI: KERAMAHAN DAN KEHANGATAN MASYARAKAT AMBAI
Oleh: Natalia Trita Agnika
Siang itu, Rabu (08/06), tim Ekspedisi Saireri WWF-Indonesia tiba di Kampung Ambai I, Kabupaten Kepulauan Yapen untuk mengumpulkan data sosial ekonomi, profil kampung, dan potensi sumber daya alam. Perkampungan ini sangat unik. Rumah-rumah yang terletak di pesisir memiliki bentuk bangunan yang disangga oleh banyak kayu. Karena jumlah kayu yang sangat banyak dan jaraknya yang rapat, rumah-rumah itu disebut juga dengan “rumah kaki seribu”.
Kami mengunjungi Kampung Ambai I menggunakan kapal Remora (nama speedboat pendamping KM. Gurano Bintang –Red). Ketika menginjakkan kaki masuk kampung, sesaat terpikir perkampungan nelayan di Labuan Bajo. Jalan penghubung di dalam kampung berupa jembatan kayu yang memiliki cabang jembatan-jembatan kecil di tiap rumah. Butuh keseimbangan yang tinggi saat ingin memasuki rumah-rumah penduduk. Terkadang, kayu yang terpasang bergeser atau bergoyang. Jantung sempat berdegup kencang karena jembatan lumayan tinggi dan air sedang surut. Setelah memberanikan diri, saya langkahkan kaki menyeberang jembatan. Namun di tengah-tengah jembatan, langkah kaki terhenti karena rasa takut terlalu menguasai. Tiba-tiba, ada seorang bapak yang menghampiri dan langsung memegang tangan saya. “Tra apa (tidak apa-apa –Red), jalan saja,” ujarnya sambil menuntun saya menuju ke ujung jembatan. Keramahannya menguatkan saya untuk menyeberang hingga ujung menuju rumah kepala kampung.
Hal serupa kembali saya alami ketika berkunjung ke salah satu rumah. Seorang ibu meminta saya untuk menunggu sebentar. Ternyata ibu itu mengambilkan sebatang bambu untuk ditumpuk di jembatan supaya lebih kokoh ketika saya lewat. Saya sungguh terkesan dengan sambutan dan kebaikannya pada kami yang bisa dibilang sebagai orang asing.
Sembari menunggu tim lain yang belum selesai mengumpulkan data, saya berjalan-jalan mengelilingi Kampung Ambai I. Perhatian saya tertuju pada salah satu rumah yang memiliki kebun bunga kecil di halamannya. Bunga krisan dan beberapa tanaman hias ditanam di atas jerigen dan kaleng bekas cat. Pemandangan ini cukup langka, mengingat mereka tinggal di atas air laut. “Tiap pagi dan sore mama siram mama pu bunga. Mama suka tanam-tanam bunga biar cantik,” jelas ibu pemilik kebun bunga.
Setelah itu, perhatian saya dialihkan oleh suara anak-anak yang berasal dari bawah jembatan. Ada dua anak, laki-laki dan perempuan yang sedang tertawa ceria sambil membawa teko. Melba dan Peter nama kedua anak itu. Dengan bertelanjang kaki, mereka mencari dan mengumpulkan kepiting dari lumpur di bawah jembatan. Ketika air laut surut, yang tersisa adalah lumpur hitam yang dipenuhi dengan kepiting. Hasil tangkapan mereka kumpulkan di dalam teko.
Rumah Melba dan Peter rupanya sedang dikunjungi oleh salah satu tim Ekspedisi Saireri. Saya dan dua orang teman diundang untuk mencicipi kepiting hasil tangkapan kedua siswa kelas 3 SD itu yang kemudian direbus oleh sang nenek, Yosina Mabuai. Namun untuk menuju ke rumahnya, saya kembali harus melewati jembatan kecil dari dua bilah kayu dan bambu. Kali ini jembatannya lebih panjang dan tanpa pegangan. Ekspresi panik langsung tersirat di wajah saya. Di luar dugaan, sang nenek datang membawa sebilah kayu panjang untuk ditancapkan sebagai pegangan. Akhirnya saya menyeberangi jembatan dengan memegang kayu yang tertancap di tanah. Di tengah-tengah jembatan, saya tidak kuat mengangkat kayu untuk dipindahkan ke sisa bagian jembatan. Sang nenek kembali membantu mencabut kayu itu dan memindahkannya supaya saya bisa melanjutkan perjalanan hingga teras rumah. Duh, malu sekali tenaga dan keberanian saya kalah dengan sang nenek.
Sambil berbincang-bincang, kami menunggu kepiting matang. Melba, siswa kelas 3 SD YPK Imanuel Ambai bercita-cita ingin menjadi guru. Ia juga bercerita kalau ingin menonton televisi, ia harus pergi ke tetangga yang memiliki televisi dan menonton sesuai acara yang disukai si pemilik rumah. Nenek Yosina membantu memotong kepiting yang telah matang dan menyajikannya kepada kami. Hmm, rasanya luar biasa, manis dan segar. Melba dan Peter bercerita bahwa mereka masih dapat dengan mudah menangkap kepiting dan udang di halaman rumah mereka.
Selain kepiting, kami juga menyantap sagu bungkus bakar buatan tetangga Nenek Yosina. Kuliner khas Papua itu terbuat dari campuran sagu, parutan singkong, parutan kelapa, dan gula yang dibungkus dengan daun bambu lalu dibakar. Makanan ini nikmat disantap saat hangat. Kami bawa kehangatan sambutan masyarakat Ambai itu menuju KM. Gurano Bintang sebagai penambah semangat untuk melanjutkan ekspedisi. “Terima kasih mama nenek, semoga berjumpa lagi,” kata saya sambil menjabat erat tangan Nenek Yosina. “Terima kasih juga. Kita bertemu lewat doa,” jawab Nenek Yosina. Ya, kami berdoa semoga alam Papua tetap terjaga dan Nenek Yosina beserta masyarakat di sana hidup sejahtera.