YOT, WUJUD EKSISTENSI SASI UNTUK ALAM LESTARI
Penulis: Faridz Rizal Fachri (Fisheries Business Officer), Irvan Ahmad Fikri (Fisheries Science Officer), dan Rizal (Community Right Based Management Officer) Inner Banda Arc Subseascape (IBAS) Program, WWF-Indonesia
Pengelolaan sumber daya alam sebenarnya sudah diterapkan sejak dulu oleh nenek moyang bangsa Indonesia dengan berbasis pada kearifan lokal dalam suatu masyarakat. Sasi--pembatasan pemanfaatan sumber daya melalui pelarangan pengambilan sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu—adalah warisan pemikiran para pendahulu kita dalam pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu, sasi dapat dikategorikan sebagai Indigenous Conservation Community Areas (ICCAs) yang selaras dengan keberadaan nilai-nilai keanekaragaman hayati yang signifikan dan secara sukarela dikelola oleh masyarakat lokal dalam suatu wilayah melalui pengaturan secara adat atau cara lain yang efektif (IUCN, 2010). Namun, eksistensi sasi sebagai salah satu kearifan lokal dari Maluku terancam hilang akibat runtuhnya pengetahuan lokal dan perubahan budaya. Ditambah lagi dengan sejarah sasi yang mulai hilang sehingga tidak ada yang tahu siapa yang memulai dan belum ada pula yang mencatatnya. Di lain sisi, praktik sasi masih dapat ditemui melalui kisah yot dan Kerajaan Ohoi Werka di Maluku Tenggara.
Kisah Yot dan Kerajaan Ohoi Werka
Kerajaan Ohoi Werka, suatu wilayah di Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara, merupakan masyarakat adat yang secara konsisten menerapkan sasi dalam pengelolaan sumber daya laut dan darat di wilayah petuanan mereka, yang dalam bahasa lokal disebut yot. Yot untuk wilayah petuanan laut berfokus pada ikan tembang (Sardinella sp), lola (Trochus niloticus), batu laga (Turbo marmoratus), dan beberapa jenis teripang. Pemanfaatan ikan pada wilayah yot pun hanya boleh dilakukan dengan pancing. Masyarakat luar Ohoi Werka dapat berpartisipasi, namun harus mendapat izin dari rat atau raja dan kepala Ohoi beserta perangkatnya. Sistem buka-tutup yot dapat dilakukan secara periodik berdasarkan hasil sidang adat yang dihadiri oleh rat, Badan Saniri, Metuduan (pembawa sirih pinang), dan marinyo (penyampai informasi pada seluruh masyarakat adat Ohoi Werka).
Fungsi pengawasan yot melibatkan seluruh komponen masyarakat. Apabila aturan ini dilanggar, pelanggar akan dikenakan sanksi adat berupa satu buah lela (meriam peninggalan Belanda atau Portugis), emas adat (anting, gelang, dan kalung), pakaian dan kain, serta uang tunai sebesar lima juta rupiah. Pakaian dan kain disertakan dalam denda karena dianggap telah menelanjangi Ohoi Werka atas ketidakpatuhan terhadap aturan adat yang telah dibuat. Jika sanksi tersebut tidak dipenuhi, dapat mengakibatkan pelanggar jatuh sakit bahkan meninggal dunia. Konteks ini disebut sebagai traditions, myth, & taboos oleh Gleser et al., (2010)[1] dalam pengelolaan top-down Marine Protected Area (MPA) yang sering kali lebih efektif dibandingkan dengan aturan formal.
Keberadaan Yot Terhadap Sumber Daya Ikan Kerajaan Ohoi Werka
Keberadaan yot sejatinya secara tidak langsung membentuk wilayah larang tangkap yang berkontribusi terhadap keberlanjutan sumber daya ikan dan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Konteks ini dalam ilmu ekonomi disebut sebagai eksternalitas yang positif. WWF-Indonesia melalui program Inner Banda Arc Subseascape (IBAS) mendukung implementasi yot dengan melakukan pendekatan ilmiah sebagai rekomendasi pengelolaan ICCAs di Kerajaan Ohoi Werka. Hal ini mencakup eksplorasi kemungkinan implementasi sistem Territorial User Right Fishing (TURF) ke dalamnya. Eksistensi sasi yang diperkuat dengan pendekatan sains diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam pengaturan sumber daya alam berbasis lokal. Hal ini dilakukan guna menanggulangi serta mencegah tragedy of the commons yang sering kali terjadi dalam pola pemanfaatan yang open access.
[1] http://www.icrs2012.com/proceedings/manuscripts/ICRS2012_22A_2.pdf