ANAK IKAN DAN ANAK KARANG
Penulis: Trinity (travel blogger http://naked-traveler.com/)
Setelah kapal Menami sampai di Pulau Gorom, kami segera mempersiapkan alat diving, makan, dan menurunkan rubber boat. Speed boat bernama Pesut yang dikirim dari WWF di Kei juga turut mendukung ekspedisi ini. Dengan dua kapal, kami dibagi dua tim ekspedisi penyelaman, masing-masing terdiri dari 6 orang. Saya memilih untuk ikut tim yang berada di kapal Pesut karena sadar diri dengan badan besar akan sangat sulit naik rubber boat dari laut.
Penyelaman pertama sore itu saya ikut Tim 2 yang dipimpin Mas Toto. Kapal berhenti di spot sesuai GPS yang telah ditentukan sebelumnya. Dive pertama di dekat Pulau Gorom. Urutan penyelaman adalah pertama, “anak ikan” yaitu 2 orang yang mendata ikan kecil (ukuran 10-35 cm) dan ikan besar (ukuran di atas 35 cm). Kedua adalah “roll master” yaitu orang yang bertugas membentangkan tali meteran rol. Ada 5 tali meteran rol, masing-masing sepanjang 50 meter. Dalam tim 2, “anak karang” didampingi oleh orang yang mendata karang yang tidak sehat (bleaching), khususnya yang terkena dampak dari El-Nino. Di atas kapal ada orang yang bertugas mendata lokasi dan men-tag GPS bila bertemu “hewan karismatik”.
Saya ditugaskan untuk menjadi buddy bagi Roll Master. Setelah kami semua turun ke kedalaman 10 meter, seseorang akan menandainya dengan jerigen. Lalu “anak ikan” maju ke depan sambil mencatat data ikan. Tugas mereka mendata sampai jarak 250 meter dan dilanjutkan dengan long swim selama 15 menit. Di belakangnya, Roll Master membentangkan tali meteran. Bila sudah lewat 250 meter dan menandainya dengan sausage, maka tandanya “anak ikan” akan long swim tapi yang mendata hanya ikan besar. Terakhir “anak karang” yang mendata kondisi karang sampai jarak 150 meter. Makanya Roll Master setelah membentangkan tali meteran 250 meter, ia harus balik menggulung meteran sampai ke titik 150 meter. Dan “anak karang” lah yang akan menggulung balik sampai ke titik 0.
Hari sudah sore dan cuaca mendung, keadaan bawah air jadi cukup gelap. Diperparah dengan arus yang cukup kencang. Karena kedalaman hanya 10 meter, maka penyelaman memakan waktu yang lama karena udara jadi “irit”. Setelah tugas Roll Master selesai, saya langsung minta selesai karena bosan dan lelah berenang melawan arus. Kapal Pesut menjemput kami di atas permukaan. Lalu “anak ikan” naik, dan terakhir “anak karang” yang menghabiskan waktu 1,5 jam di bawah air!
Malamnya diadakan briefing mengenai feed back kegiatan hari itu. Intinya komunikasi antar “anak” harus diperjelas. Lalu masing-masing peserta meng-input data yang dikumpulkan ke Dirga sebagai koordinator data. Kami semua tidur cepat karena besok akan diving 3 kali.
Pagi hari terjadi insiden. Saya sukses muntah, mengeluarkan isi sarapan, karena… kebauan toilet bekas BAB Tiela! Bila sebagian peserta muntah-muntah karena sea sick, saya masih bisa bertahan asal bukan bau! Maklum, toilet di kapal Menami hanya dua dan semua peserta memiliki “ritual pagi” berbarengan. Dan saya yang tertimpa sial!
Hari kedua, diving rencananya diadakan di sekitar Pulau Panjang sebanyak 3 kali. Saya masih dengan tim yang sama dan menggunakan kapal yang sama. Tiga-tiganya di spot yang berarus sangat kencang, dengan kecepatan 2 meter per detik yang dihitung di permukaan. Kaki saya pegal luar biasa berenang melawan arus. Buddy saya yang anggota TNI AL berenang sangat cepat sehingga saya harus berpacu daripada ketinggalan. Saya sudah tidak melihat “anak ikan” dan “anak karang” di depan dan di belakang saya. Karena lelahnya dan buddy saya pun tidak kelihatan, di penyelaman terakhir saya menancapkan pointer di dasar, terlungkup di pasir sambil istirahat, berharap buddy saya akan menemukan saya kembali. Untunglah dia datang balik menjemput. Saya langsung menggelendotinya karena takut ditinggal lagi. Rupanya diving itu bisa bikin orang posesif!
Sungguh saya tidak menikmati penyelaman dua hari itu. Saya yang biasanya menyelam untuk fun, sekarang merasa tidak fun sama sekali. Sebenarnya keempat spot diving itu tidak bisa dikatakan buruk karena terumbu karangnya masih sehat dan ikan-ikannya cukup banyak. Kami juga menemukan penyu, hiu dan barakuda. Tapi dengan kondisi yang sangat melelahkan itu membuat saya tidak mengingat indahnya diving. Di sisi lain saya sangat salut dengan tim WWF-Indonesia dan Terangi yang begitu passionate dengan pekerjaannya dan tidak masalah menempuh kondisi apapun. Saya juga suka diving, tapi kalau diving jadi pekerjaan rasanya saya ogah deh!
Saya pun tidur cepat malam itu, bahkan paling duluan di antara semua peserta yang masih meng-input data. Saya jadi mikir, bagaimana nasib saya di hari-hari berikutnya?