DINGO MARKUS RAIH PENGHARGAAN INTERNASIONAL
Oleh: Lia Syafitri
Seorang warga Desa Tanjung, Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, berhasil meraih penghargaan internasional dari The Paul K. Feyerabend Foundation. Putra terbaik Indonesia itu adalah Dingo Markus. Berkat jasa-jasanya dalam memperkuat kapasitas lokal, dia terpilih sebagai salah satu tokoh terbaik dunia dari yayasan yang bermarkas di Swiss itu (co-winner).
Upaya terbesar yang dilakukan Dingo Markus adalah keberhasilannya mengubah paradigma berpikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Dia ingin melihat warga Desa Tanjung mandiri secara ekonomi tanpa harus merusak kawasan hutan. Tentunya, ini bukan perkara mudah.
Sebagai kepala desa kala itu, beliau merasa ada sesuatu yang keliru dengan cara-cara jamak yang selama ini dilakukan warga. Perladangan bergilir belum intensif dan akan memperparah kerusakan hutan jika jumlah penduduk bertambah terus dan kebutuhan lahan pertanian meningkat. Maka dia pun merumuskan sejumlah langkah-langkah strategis yang dimulai dari lingkungan keluarga dan aparatus desa.
Pijakannya adalah sumber daya alam yang melimpah, namun Desa Tanjung masih masuk dalam kategori desa miskin. Masyarakat hanya menggantungkan hidupnya dari ladang dan kebun karet. Sementara ruang kelola sangat terbatas lantaran status kawasan di sekitar desa yang masuk kawasan lindung.
Desa Tanjung secara administratif berada di Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa ini merupakan perkampungan paling ujung dan terletak sekitar 75 kilometer lintas selatan Kota Putussibau. Posisinya berada di sekitar Pegunungan Muller.
Melihat kenyataan seperti ini, Dingo Markus tak berdiam diri. Dia berusaha sekuat tenaga mencari solusi agar warga desa hidup sejahtera dan bisa memanfaatkan kekayaan alam sekitarnya dengan bijak/lestari.
Dalam perjalanannya, upaya tersebut kerapkali tersandung. Bahkan, kebuntuan total acapkali mengintai. Sebagai pucuk pimpinan desa yang dipercaya sejak 2009 hingga 2015, Dingo Markus menginisiasi pertemuan para tokoh masyarakat, agama, dan tokoh adat, guna mencari jalan terbaik bagi kesejahteraan warga.
“Banyak ide, tapi tak bisa diterapkan jika tidak dibarengi solusi yang tepat. Misalnya, warga dilarang membuka hutan. Kalau cuma dilarang, itu gampang. Tapi warga bisa marah kalau cuma dilarang tanpa ada solusi,” kata Dingo Markus.
Sejauh ini, dia mengakui masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari hutan. Tak jarang warga terpaksa membuka hutan untuk kepentingan ladang. Setelah panen, ladang bekas garapan itu ditinggalkan dan mereka membuka kawasan baru.
Sistem perladangan seperti ini menjadi momok bagi pemerintahan desa. Mau dilarang tanpa solusi, juga dinilai kurang bijak. Akibatnya, hutan lindung di sekitar desa juga akan tetap rusak karena aktivitas warga.
Dingo Markus ingin melihat desanya maju dan mandiri dengan tingkat perekonomian masyarakat yang juga mamadai. Dia menyadari, jika tingkat perekonomian masyarakat masih berada di bawah standar, laju kerusakan hutan pasti kian cepat.
Alasannya sederhana. Masyarakat tidak akan pernah bisa dikendalikan untuk membuka hutan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tak akan pernah mau tahu apakah status kawasan itu dilindungi atau tidak. Sebab, yang ada di benak mereka adalah soal hidup atau mati.
Tidak ada pilihan lain bagi Dingo Markus kecuali mendorong peningkatan kapasitas warganya melalui sejumlah aksi. Di antaranya, peningkatan kemampuan di sektor perkebunan, pertanian, ekowisata, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Dalam prosesnya, sejumlah tawaran mulai berdatangan. Pada 2010 – 2011 misalnya, sebuah perusahaan kelapa sawit yang ingin masuk ke Desa Tanjung menawarkan sejumlah program. Namun warga menolak. Mereka berpikiran jika sawit datang maka pohon-pohon di hutan akan ditebang, dan air sungai pasti tercemar.
Kolaborasi dengan WWF Indonesia
Di tengah kesulitan yang dihadapi warga, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat hadir dan menyosialisasikan Program Muller Schwaner. Urung-rembuk dihelat dengan warga atas kehadiran lembaga swadaya masyarakat itu. Akhirnya, pemerintah desa menerima kehadiran WWF. Menggunakan metode Participatory Conservation Planning (Perencanaan Konservasi Partisipatif), WWF coba membantu untuk membangun sebuah visi baru dalam pengelolaan kawasan dan wilayah kelola masyarakat di desa ini. Dingo Markus menyadari, tanpa bantuan dari pihak lain, Desa Tanjung sulit berbenah.
Dari perkenalan dengan lembaga ini, secara perlahan membuka pemikiran Dingo Markus bahwa koordinasi dan penggalian informasi program di pemerintah sangat penting. Melalui lembaga pendamping, ia belajar bagaimana menyampaikan aspirasi masyarakat terhadap pembangunan di Desa Tanjung, sehingga program-program dari pemerintah mulai mengalir ke Desa Tanjung antara lain dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu dengan bantuan bibit karet, gaharu, dan buah-buahan. Selain itu Pemerintah Daerah Kapuas Hulu juga memberikan dorongan pada Dingo Markus untuk mengikutsertakan Desa Tanjung dalam Kegiatan Wahana Lingkungan pada tahun 2015, sehingga Desa Tanjung menjadi juara pertama tingkat Provinsi Kalimantan Barat dan mewakili Kalimantan Barat di Tingkat Nasional.
Dari sisi manfaat, dia mengakui banyak hal yang bisa dipetik warga dari program yang sudah berjalan. Masyarakat dilatih memiliki kemampuan okulasi karet unggul dan pembuatan persemaian. Secara otomatis ini berdampak langsung bagi perekonomian masyarakat desa.
Selain itu, masyarakat juga dididik soal manajemen perkebunan karet seperti Internal Control System (ICS) dalam usaha bahan olahan karet (Bokar) bersih. Pengusulan hutan desa, penguatan jaringan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Semangai Desa Tanjung secara nasional dengan menjadi anggota Aliansi Organik Indonesia (AOI), serta Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Setahun setelah WWF masuk ke wilayah Desa Tanjung, lembaga swadaya masyarakat lainnya pun hadir. Hutan Desa Tanjung pun digagas. Kolaborasi antara lembaga swadaya dan masyarakat ini akhirnya mengantar desa berpenduduk 1.031 jiwa ini menuju gerbang desa hijau mandiri.
Atas dasar usulan Pemerintah Desa Tanjung yang dibantu lembaga pendamping, pada Januari 2014 Hutan Desa Tanjung mendapat Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa seluas 2.520 hektar dari Kementerian Kehutanan Melalui SK Menhut RI Nomor: 66/Menhut-II/2014 dan pada tanggal 13 Februari Desa Tanjung mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) yang diberi nama BUKIT BELANG melalui SK Gubernur Kalimantan Barat Nomor 401/EKBANG/2015.
Sosok Inspiratif Bagi Warga Desa
Terlepas dari semua keberhasilan di atas, sosok Dingo Markus adalah sumber inspirasi bagi warga Desa Tanjung. Pribadi yang sederhana dengan tekad yang kuat, cukup menjadi tauladan bagi warga desa lainnya.
“Coba lihat anugerah Tuhan di depan mata. Air jernih yang mengalir, hutan yang lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon. Semua ini adalah sumber kehidupan serta titipan anak cucu yang harus dijaga kelestariannya. Mereka membantu kami, kami membantu mereka,” kata Dingo Markus sambil menunjuk ke arah Sungai Suy’uk.
Melalui kata-kata sederhana seperti itu, Dingo Markus dengan filosofi hidup dan keyakinannya bahwa kita perlu menjaga keseimbangan antara konservasi dan pembangunan.
Sesuai dengan keyakinannya, Dingo Markus telah memobilisasi orang untuk memulai pemulihan kawasan hutan yang terdegradasi. Bersama-sama, mereka menanam berbagai jenis pohon seperti pohon buah-buahan, karet, kopi dan pohon lainnya di Desa Tanjung.
Perilaku yang rendah hati dan sederhana menyamarkan kepemimpinan karismatik dan terkemuka yang kuat untuk dicontoh. Ia berhasil membawa Desa Tanjung sebagai desa hijau melalui inisiatif konservasi dan pemulihan kawasan kritis.