DUA DEKADE BERLALU, HADING MULUNG MASYARAKAT ADAT BARANUSA KEMBALI BERLAKU
Oleh: Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
“Wahai seluruh arwah, baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Dari seluruh penjuru, kami mohon hadirmu. Larangan ini kami buat, dan barang siapa yang melanggarnya, maka engkau akan melihat dia.”
Begitu kira-kira arti dari bunyi amor (mantra) dalam Bahasa Baranusa yang diucapkan oleh Bapak Sengaji Gini, tetua adat Suku Sandiata. Beliau memimpin sebuah ritual adat yang dinamakan Hading Mulung, upacara penutupan laut dari segala pemanfaatan oleh manusia selama setahun. Darah dan sebagian daging dari tiga ekor kambing ditumpahkan ke laut sebagai pouneda (sesaji) agar arwah turut melindungi laut dan seisinya.
Masyarakat percaya, yang melanggar Hading Mulung akan dimangsa buaya, satwa yang paling ditakuti di laut. Buaya, tak lain adalah perwujudan arwah nenek moyang Suku Sandiata, kabilah yang memimpin ritual perlindungan laut dalam tatanan masyarakat adat Baranusa.
Syahdan, nenek moyang Sandiata yang dahulu gagal melarikan diri dari tsunami, berubah menjadi buaya penjaga perairan Pulau Lapang dan Pulau Batang. Kedua pulau ini merupakan wilayah adat ulayat Sandiata sejak zaman penjajahan Belanda, yang mana juga bagian dari Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya.
Luas Pulau Lapang adalah 249 hektar. Puluhan rumah sementara milik para nelayan berdiri di tanah lapang yang ditutupi oleh ribuan cangkang kehe (kerang). Di beberapa titik, pohon kayu hidup berdiri, sedikit menetralisir terik matahari yang akrab dengan pulau kecil ini. Sebuah masjid baru saja dibangun dan dinamakan Nurul Bahri, yang berarti cahaya lautan.
Hari itu (30/10), masyarakat adat Baranusa yang tergabung dari lima desa pesisir di Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, berkumpul di pulau tanpa sumber air ini. Mereka berasal dari berbagai elemen masyarakat Desa Baranusa, Blangmerang, Ilu, Baraler, dan Piring Sina. Mulai dari anak-anak dan wanita, tetua adat, tokoh masyarakat, hingga Raja Baranusa sendiri.
Menyeberang dengan perahu kecil selama satu jam dari Baranusa, kami tiba satu hari sebelumnya di Pulau Lapang. Matahari sedang terbenam ketika kami berjalan cukup jauh menuju bibir pantai karena surutnya air. Malam itu, para mama memasak sementara rapat adat digelar, persiapan untuk menggores sejarah bangkitnya pranata adat Hading Mulung esok hari.