“GEMBALA” - GERAKAN MENGEMBALIKAN BATU KE LAUT AGAR MASYARAKAT ALOR LEBIH PEDULI LINGKUNGAN
Oleh: Alexandra Maheswari, Dugong and Seagrass Conservation Program Site Manager Alor
Para pegiat penanaman rock pile di Dusun Batu Putih, Alor kemudian menyebut gerakan ini sebagai “Gembala”, Gerakan Mengembalikan Batu ke Laut. Tujuannya adalah untuk menurunkan kecenderungan masyarakat untuk menambang pasir, kerikil, batuan dan terumbu karang yang ada di laut. Setelah mengetahui peran pentingnya terumbu karang sebagai “rumah ikan” kehadiran terumbu karang dan dan pasir-batuan pesisir sebagai pencegah garis pantai dari ancaman abrasi, diharapkan masyarakat dapat lebih peduli dan mengurangi tekanan terhadap lingkungan.
Isu penambangan pasir, kerikil, dan bebatuan dari pesisir
Penambangan pasir, kerikil, dan batu merupakan salah satu isu yang hangat dibicarakan di kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang hidup di pesisir, termasuk di Kabupaten Alor. Sejak 2012, Pemerintah Daerah telah menetapkan Perda Kabupaten Alor No. 03 Tahun 2012 yang mengatur mengenai pengambilan bahan-bahan yang dikategorikan sebagai bahan galian C dan diatur penggunaannya. Ketetapan dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang menyebutkan tentang kewenangan kawasan perairan 0-200 mill dari garis pantai menunjukkan kewenangan kawasan perairan berada di wilayah pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT.
Telah ditetapkannya kawasan konservasi Suaka Alam Perairan Selat Pantar dan Laut Sekitarnya lantas belum serta merta membuat pengelolaan yang ada di dalamnya 100% efektif, khususnya dari segi pengawasan dan penegakan hukum. Penentuan strategi yang tepat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan idealnya menjadi perhatian setiap stakeholder yang berperan dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi.
Masyarakat menyatakan masih mengumpulkan batu karena masih adanya permintaan dari masyarakat khususnya dari Kota Kalabahi. Permintaan merupakan salah satu aspek yang penting dalam rantai perdagangan komoditas bahan tambang ini. Masyarakat Alor sejak tahun 2000-an mulai diperkenalkan dengan bangunan rumah dengan batu bata yang dianggap lebih “layak”. Dari situ, secara rasional masyarakat menggunakan bahan-bahan yang ada di alam pesisirnya sebagai bahan untuk membangun rumah pribadi maupun fasilitas umum.
Dalam sesi wawancara dengan masyarakat Dusun Batu Putih, salah seorang menyatakan bahwa penghasilan dari penjualan batu tiap bulannya tidak cukup banyak dan kurang sepadan dengan usaha yang dilakukan. Hal ini jauh berbeda dengan menangkap ikan atau budi daya rumput laut yang memiliki nilai ekonomi dan manfaat yang lebih tinggi.
Namun pekerjaan yang kerap dilakukan oleh kaum wanita ini, tetap menjadi pilihan sebab merupakan pilihan pekerjaan sampingan yang dapat dilakukan untuk mendukung perekonomian keluarga.
Dusun Batu Putih hanyalah salah satu contoh. Idealnya, pemanfaatan kawasan pesisir saat ini penting disokong oleh kajian daya dukung lingkungan agar dapat diketahui kemampuan suatu wilayah menerima dampak eksploitasi.
Pengurangan tekanan dapat dilakukan dengan mengetahui alternatif mata pencaharian lain yang potensial untuk dilakukan sesuai identitas masing-masing wilayah. Mendorongkan kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat seperti budi daya rumput laut, peningkatan pengolahan perikanan dan pertanian, maupun pengembangan pariwisata dapat menjadi beberapa alternatif bagi kegiatan pemanfaatan yang merusak.
Ferryanto Padabain, staf Dinas Pariwisata Kabupaten Alor, penggagas jargon Gembala menyatakan harapannya kepada masyarakat Alor agar makin peduli dan mencintai lingkungan. “Selain Gembala, ada juga Gempala – Gerakan Mengembalikan Pasir ke Laut,” ujar beliau.
Ferry juga menyatakan pentingnya kerja sama dan dukungan antar instansi pemerintah untuk membuat gerakan ini makin bergema. “Kita bisa memulai dengan menyuarakan gerakan ini lewat radio-radio di Alor,” tambahnya.