IKUT SIMBA MENGAUM
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Hari ini, saya ikut Simba melaut bersama tim ekologi. Simba adalah speed boat fiber, anak kedua Menami setelah Dinghy (yang biasa kami eja dengan 'Dinggi'). Awalnya saya pikir, kenapa dinamakan Simba? Simba kan, Raja Rimba. Sementara speed boat dengan dua mesin bertuliskan Suzuki 150 di bagian belakang kapal ini, seharusnya merajai lautan, bukannya hutan.
“Ih, Simba itu kan nama ikan, Ikan Simba,” Sasi (Universitas Halu Oleo) menjawab rasa penasaran saya. Yang saya cuma balas dengan “Ooo” panjang.
Saya memakai baju renang pagi itu. Menenteng fins, snorkel, dan goggle modal boleh meminjam teman. Turun ke Simba, sambil berharap titik penyelamannya nanti cukup ramah dan indah untuk direnangi oleh amatiran seperti saya.
Kami ditemani Om Muhidin dan Om Herman (WWF-Indonesia), dua awak Simba yang setia. Tapi hari ini, ternyata kesabaran mereka diuji. Soalnya, belum lama Simba meninggalkan Menami, mesinnya berkali-kali mati.
Kecepatan Simba menurun drastis dalam sepuluh menit kami berlayar, sampai 6 knots, karena cuma mengandalkan satu mesin yang masih berfungsi. Padahal, kalau kencang, kami bisa sampai di kecepatan 30 knots, atau 55 km per jam.
Ternyata, bensin Simba terkontaminasi bekas tong oplosan yang tidak dibersihkan. Hasilnya, mesin rusak karena mesin Simba tidak bisa menggunakan bensin oplosan. Berkali-kali, Om Herman harus menguras dan menempatkan bensin di wadah lain, memastikan agar tarikannya mantap seperti biasa.
Tapi, meski dalam keadaan demikian, kami sampai juga di titik penyelaman pertama. Lokasinya di perairan Pulau Sisi, yang bersisian dengan pulau karang kecil bernama Pulau Burung, dan daratan Sulawesi. Sampai di Pulau Sisi, surutnya air membuat karang-karang jadi terekspos matahari. Kalau kata Jibriel (Reef Check Indonesia), terpaan matahari yang berlebihan ini bisa membuat karangnya mati.
Sambil memperbaiki mesin, Simba menunggu tak jauh dari penyelam. Saya, Pak Adhi (BKSDA Sulawesi Tenggara) dan Yusran (Yayasan Bahari) menunggu mereka di atas kapal. Kali ini, kami belum bisa turun, karena melihat visibilitas air yang kurang cocok untuk snorkeling cantik.
Tapi, sih, yang nyesek, saat kami menjemput penyelam di sebelah timur Pulau Sisi, ternyata di sana adalah snorkeling spot yang bening dan indah sekali! Warna-warni terumbunya terlihat dari atas Simba, bikin saya gigit jari.
Tapi kalau rezeki, emang tidak kemana. Pada titik penyelaman kedua, saya berkesempatan snorkeling di perairan Pulau Bahubulu, tak seberapa jauh dari bibir pantai.
Sementara saya, Bu Rahma (Universitas Halu Oleo), dan Pak Adhi (BKSDA Sulawesi Tenggara) sibuk bermain air; Om Herman dan Om Muhidin masih sibuk membenahi Simba – agar kami semua bisa pulang kembali ke Menami. Terima kasih Om, sudah buat Simba mengaum lagi.