KAKAO ORGANIK OLEH PETANI KAKAO DI LEMBAH GRIME
Kakao (Theobrama cacao L) merupakan jenis buah yang sangat menarik perhatian karena bentuknya lonjong dengan warna yang berbeda-beda misalnya kuning ada yang hijau kemerah-merahan, serta rasanya identik dengan rasa pahit manis asam cocok disandingkan dengan susu, keju, krimer maupun buah-buahan untuk makanan penutup atau sekedar kudapan yang disukai oleh anak-anak hingga dewasa.
Berbagai macam produk turunan yang dibuat dari bahan baku kakao beragam pilihannya mulai dari makanan sampai ke minuman. Untuk menjadi hidangan di atas meja, ternyata kakao melewati proses yang cukup panjang. Yuk mari kita intip tahapannya apa saja!
Kakao dikenal dapat ditanam dengan cara organik atau non organik, kali ini pembahasan khusus kakao organik. Kelompok petani kakaoyang didampingi Yayasan WWF Indonesia, di wilayah lembah Grime, Kabupaten jayapura Papua merupakan petani kakao organik yang mendiami 3 kampung yakni Soaib, Aimbe, dan Kalisu. Para petani ii didampingi untuk dapat mengelolah kakao dengan menerapkan 10 prinsip organik yaitu:
- Pembukaan lahan tidak diizinkan menggunakan bahan kimia dan tebas bakar
- Bibit kakao hanya menggunakan bibit kakao lokal dari kebun kelompok
- Pengelolahan kesuburan tanah dan tanaman tidak diizinkan menggunakan pupuk kimia
- Pencegahan hama penyakit tidak diizinkan menggunakan pestisida kimia
- Pemangkasan tanaman dianjurkan, untuk pengendalian hama penyakit dan menjaga produktifitas
- Pemetikan buah dilakukan dengan benda tajam dengan menyisakan tangkai buah di pohon untuk menjaga produktifitas tanaman.
- Pembasmian rumput di kebun hanya diizinkan dengan cara manual tanpa pembakaran
- Pembelahan buah saat panen hanya menggunakan benda tumpul di atas alas bersih, tidak diizinkan langsung di atas tanah.
- Hasil panen biji basah dikemas dalam karung bersih untuk mencegah kontaminasi
- Hasil panen biji basah tidak dicampur dengan hasil panen kebun lain yang bukan organik untuk mencegah pencampuran.
Varietas kakao yang dikembangkan oleh para petani adalah jenis Criollo, Forester dan Trinirario. Varietas Criollo merupakan jenis yang dikembangkan dahulu oleh orang-orang Belanda pada tahun 1950-an di Kabupaten Jayapura. Para petani kakao yang ada saat ini merupakan pemilik kebun-kebun kakao secara turun temurun sehingga banyak pohon-pohon yang cukup berumur, sehingga perlu dilakukan peremajaan. Melalui metode sambung pucuk dan sambung samping. Petani mulai menanam kembali di hutan mereka dengan sistem wanatani (agroforestry).
Selain keunikan varietas, kualitas pun berusaha dijaga oleh petani melalui tahapan panen, pasca panen, fermentasi hingga pemilihan biji yang sesuai dengan standar. Proses panen tiap varietas dapat berbeda. Untuk jenis Criollo mentah cangkangnya berwarna hijau atau merah, sementara yang siap panen berwarna jingga. Pada varietas Forestero, saat mentah cangkang berwarna hijau dan saat panen berwarna kuning dan merah. Sementara varietas Trinitario, saat mentah berwarna merah atau hijau dan saat panen berwarna kuning.
Buah yang dipanen berasal dari pohon yang bersih dan bebas hama dan tangkainya mulai mengering. Pemetikan buah dilakukan dengan benda tajam dengan menyisihkan tangkai buah di pohon untuk menjaga produktifitas tanaman. Waktu panen tidak ditunda-tunda agar kualitas tetap terjaga dan memacu pembentukan bunga dan buah juga menghindari buah busuk yang mengundang hama dan penyakit.
Setelah panen, buah kemudian disortir. Buah yang baik jika digoyangkan akan mengeluarkan bunyi, memiliki berat cukup, ini tandanya berisi biji kakao yang padat. Pembelahan buah hanya boleh menggunakan benda tumpul di atas alas bersih (tidak diperbolehkan langsung di atas tanah). Setelah itu biji dikeluarkan, hasil panen biji basah akan dikemas tersendiri di dalam karung bersih agar mencegah kontaminasi.
Selanjutnya adalah tahap fermentasi. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan tiga buah wadah kotak berukuran tinggi 45 cm, lebar 55 cm, panjang 65 cm. Ketiga kotak disusun dari tinggi ke rendah untuk memudahkan pencampuran biji. Wadah tidak boleh menyentuh dasar tanah supaya memungkinkan bubur kertas mengalir. Tempatkan wadah di bawah gubuk atau atap agar terhindar air hujan. Fermentasi biasanya membutuhkan waktu 5-6 hari. Buatlah potongan percobaan pada hari kelima untuk memeriksa apakah biji tersebut telah terfermentasi dengan baik. Setelah fermentasi, tahapan selanjutnya adalah pengeringan. Ini adalah tahapan terakhir untuk memperoleh biji kakao yang siap dengan kualiatas organik yang baik.
Pengeringan dilakukan dengan menjemur tidak langsung di bawah sinar matahari. Untuk mengurangi pengeringan mangikat, dibutuhkan waktu 5-6 hari. Biji dijemur di wadah terbuka agar biji benar-benar kering dengan kadar air berkurang hingga 5-7 % (di atas 7% akan menimbulkan jamur berkembang di dalam biji dan jika di bawah 5% biji akan sangat rapuh).
Petani harus memperhatikan tempat pengeringan yaitu atap rumah pengering terbuat dari plastik yang tidak transparan agar biji tidak teralu panas, jangan biarkan biji terus terkena panas matahari selama tiga hari pertama. Biji kakao yang dikeringkan diaduk harus menggunakan penggaruk kayu dilakukan setiap 2 jam selama 2-3 hari. Selanjutnya di hari keempat biji akan diaduk sekitar 2-4 kali sehari untuk memastikan pengeringan merata. Supaya biji tidak kelebihan panas di siang hari, sisi rumah harus dibuka selama siang hari dan ditutup pada malam hari agar terhindar dari hujan.
Perlu diperhatikan juga gumpalan kakao atau biji yang menyatu harus diperhatikan, sementara biji yang pipih atau terinfeksi harus dibuang. Plastik harus dibersihkan secara berkala dengan kain lembut dan tidak diperbolehkan menggunakan deterjen atau apapun yang keras yang akan menggores plastik.
Jangan lupa untuk mengecek kadar air sehari setelah biji dikeringkan. Penilaian kadar kelembaban tidak dapat diandalkan pada hari terakhir pengeringan karena distribusi kelembapan yang mungkin tidak merata baik di dalam dan di antara biji pada akhir pengeringan. Biji yang berkualitas selanjutnya dapat diolah untuk menjadi bubuk coklat, minyak coklat ataupun coklat batangan.
Dalam pendampingan kelompok, pelibatan kaum perempuan adalah penting. Apalagi dalam proses panen, sortir, fermentasi dan penjemuran perempuan kerap terlibat. Kegiatan ini bagi kaum perempuan masih bersifat sampingan, karena mereka lebih fokus dalam kegiatan perkebunan dan mengurus rumah tangga.