KISAH KASIH JUNJUNG DAN RAHMAN (PART 1)
Oleh: Syamsidar
Pemberitaan akhir-akhir ini marak dengan isu LGBT. Apa LGBT itu sudah pasti banyak yang tahu. Bagaimana jalinan kasih antara Junjung dan Rahman apakah mereka tersandung LGBT? Dua nama yang mewakili hubungan dari genre lelaki ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu tersebut namun kasih sayang diantara keduanya tidak diragukan lagi.
Junjung Daulay, pria berumur 38 tahun ini telah sebelas tahun lebih merawat dan menyayangi Rahman dengan sepenuh hati. Setiap hari mereka bertemu, saling menyapa dengan bahasa masing-masing dan saling memahami suasana hati diantara keduanya.
Pagi merekah di Taman Nasional Tesso Nilo, Kabupaten Pelalawan, Riau. Junjung pun bergegas menemui Rahman di tempat ia ditambatkan sore sebelumnya. Panggilan lembut namun bersahaja selalu mengawali hari-hari mereka. “ Man, Rahman,” panggil Junjung ketika mendekati gajah ini untuk membawanya mandi pagi ke anak sungai. Di sungai, lima ekor gajah Flying Squad lainnya ( 3 dewasa dan 2 anak) ikut serta mandi bersama.
Langkah pasti Rahman membawa Junjung yang berada di atas pundaknya menuju sungai. Kakinya yang besar melangkah tanpa ragu menjejakkan kaki ke bibir sungai, perlahan menuju ke tengah dan sekejap sekujur tubuhnya hilang di dalam permukaan air. Sementara Junjung dengan sigap tetap duduk di atas Rahman, sedikit menjongkok untuk menghindari air. Perlahan Rahman memunculkan kepalanya, kemudian menyelam lagi. Junjung kemudian mengusap kepala Rahman, menggosok badan Rahman dengan telapak tangannya.
“Rahman sangat senang digosok ketika mandi apalagi di bagian kepala. Sepertinya ia merasa berterimakasih karena badannya yang besar tersebut sudah dibersihkan.” ujar Junjung.
Pertemuan Junjung dan Rahman bermula pada Juni 2004, saat pertama kali ia bergabung dalam keanggotaan Tim Flying Squad. Elephant Flying Squad adalah salah satu tekhnik penanganan konflik manusia-gajah dengan menggunakan gajah terlatih untuk mengusir gajah liar kembali ke habitatnya sehingga kerugian masyarakat akibat gangguan gajah liar dapat diminimalkan. Teknik ini untuk pertama kalinya diujicobakan oleh WWF bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau di Taman Nasional Tesso Nilo. Pada April 2004, empat ekor gajah dan delapan orang perawatnya atau disebut mahout dibawa dari Pusat Latihan Gajah – Minas, Riau ke Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan. Sejak itu tim ini ditempatkan di desa tersebut untuk membantu menanganai konflik manusia-gajah. Desa Lubuk Kembang Bunga berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tesso Nilo dan menurut survei WWF merupakan desa yang mengalami kerugian ekonomi tertinggi akibat gangguan gajah pada saat itu.
Dari semua kisah bersama Rahman yang telah dilewati Junjung, ia pun memetik hikmahnya bahwa jangan setengah hati untuk mencintai pekerjaan dan gajah karena di sana ada kebahagian yang tidak terkira. Meskipun tantangan dan resiko pekerjaan sebagai anggota tim Flying Squad yang harus siap sedia berhadapan dengan gajah liar pada saat patroli atau pun pengusiran pengusiran gajah liar, kecintaan terhadap pekerjaan membuat tantangan tersebut menjadi kecil.